bilad’s Blog


Reposisi Manusia atas Alam Semesta
July 9, 2009, 2:03 am
Filed under: Essay

Reposisi Manusia atas  Alam Semesta

Bencana alam kini menjadi rutinitas dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dua musim yang ada memiliki katastrofanya masing-masing. Musim panas kerap mendatangkan kekeringan dan kebakaran hutan. Sedangkan musim hujan hampir bisa dipastikan selalu membawa banjir dan tanah longsor. Di belahan bumi lain, peningkatan tajam suhu udara, badai, serta bencana lain juga tak kalah mengancam.

Bencana-bencana semacam itu bisa saja merupakan fenomena alam tanpa campur tangan manusia. Namun bila ditelusuri tampaknya manusia jauh lebih memiliki andil pada terjadinya bencana tersebut dibandingkan dengan alam itu sendiri. Alam selalu bekerja dalam keserasian. Alam adalah sistem, dan layaknya sebuah sistem alam berjalan dalam keseimbangan , keteraturan dan kesatuan (totalitas).

Superioritas Eksploitatif

Ada persepsi dan pola interaksi yang salah dari manusia terhadap alam. Kita tidak memiliki kesadaran ekologis, yaitu kesadaran akan eksistensi kita, manusia, sebagai sub-sistem alam yang harus selalu berada dalam sistematikanya (alam). Atas nama pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, keamanan atau bahkan ilmu pengetahuan kita sering kali dengan jumawa memperlakukan alam sebagai entitas yang harus ditaklukkan. Seolah alam merupakan sumber daya tanpa batas yang diperuntukkan bagi manusia belaka. Lebih tepatnya bagi manusia saat ini, bukan bagi manusia-manusia yang akan datang.

Persoalan sikap mental eksploitatif manusia sebenarnya telah lama mengemuka Sejak awal abad kedua puluh, masalah lingkungan sudah menjadi bagian dari isu penting dalam kancah global. Ratusan lembaga yang hirau akan lingkungan sudah berjumlah ratusan. John Baylis dan Steve Smith dalam The Globalization of World Politics (2005) mencatat, pada tahun 2000 saja terdapat lebih dari 300 perjanjian multilateral tentang lingkungan dan pada tingkat bilateral jumlahnya jauh lebih banyak lagi.

Benarkah manusia telah menemukan puncak kesadaran ekologisnya? Kemapanan telah membelalakkan sensitivitas ekologis sebagian kecil manusia. Dirinya sadar akan eksistensinya yang merupakan sub-sistem dari kosmos. Itupun muncul sebagai respon atas gejala-gejala ketimpangan kosmis (bencana) yang sering terjadi, bukan murni kesadaran preventif. Namun begitu mereka menjadi perintis upaya mereduksi apa yang disebut Garrett Hardin (1968) sebagai tragedy of the commons, yaitu tindakan-tindakan rasional individu yang mengarah pada berbagai perilaku kolektif yang mengakibatkan eksploitasi berlebih terhadap sumber daya alam sehingga mengakibatkan bencana.

Hardin berargumen bahwa ketika akses terhadap sumber daya alam terbuka lebar dan tidak ada aturan yang mengikat, manusia akan terus-menerus mengeksploitasinya sampai pada batas maksimal demi kepentingan pribadinya. Masing-masing akan memperoleh keuntungan maksimal dari penggalian sumber daya alam tersebut. Akan tetapi, akibat-akibat logis dari over-eksploitasi yang berupa bencana alam tentunya akan ditanggung bersama. Sayangnya, manusia-manusia semacam ini senyatanya masih merupakan mayoritas. Inilah yang menjadi persoalan serius umat manusia.

Dalam konteks ini, menawarkan gagasan filosofis tentang bagaimana kita harus berinteraksi dengan alam adalah hal yang patut dipertimbangkan. Dampaknya mungkin tidak bersifat instan, namun upaya ini tetap penting guna menumbuhkan kesadaran kolektif akan urgensi agenda-agenda penyelamatan ekologi demi kelestariannya dan tentunya demi kelastarian kehidupan manusia sendiri.

Membangun Kearifan

Pada awal abad ke-19, Alferd North Whitehead merintis apa yang disebut sebagai filsafat organisme. Whitehead mencoba merevitalisasi tradisi ontologi yang dianggapnya sedang mengalami masa-masa keruntuhan akibat terjangan gelombang keilmuan modern yang bertumpu pada nilai-nilai materialisme positivistik.

Paradigma materialisme positivistik inilah yang melahirkan mental eksploitatif atas alam semesta. Paradigma semacam ini memandang semesta sebagai entitas materi yang rigid sehingga harus difungsikan secara kalkulatif. Maka sebagai respon terhadap paradima sains modern tersebut, Whitehead dalam Process and Reality (1978) menawarkan filsafat organismenya yang mengedepankan keutuhan dan integrasi di antara jejaring realitas dalam bingkai pemikiran sistemik.

Setiap entitas di jagad raya memiliki nilai-nilai intrinsik masing-masing, tak terkecuali manusia. Eksistensi manusia hanyalah bagian kecil dari entitas-entitas sistemik jagad raya yang bermiliar-miliar bahkan trilyun. Tidak sepantasnya manusia “mengklaim” diri sebagai supremasi atau bahkan pusat alam semesta sehingga dengan tanpa kendali mengeksploitasinya. Bila demikian, maka hakekatnya manusia menggilas dirinya sendiri dalam rajutan semesta yang maha luas.

Pengandaian ontologis tersebut merupakan landasan untuk membangun sebuah moralitas baru. Kita (manusia) adalah kesatuan yang komplementer dengan triliunan kesatuan-kesatuan lain dalam semesta. Penciptaan dan eksistensi manusia terkait erat dengan penciptaan dan eksistensi binatang, tumbuhan, tanah, air, udara dan unsur-unsur alam lain. Manusia sama sekali bukan diri yang terpisah dari diri-diri di alam semesta. Alam bekeja dalam keteraturan dan keseimbangan, maka kesatuan-kesatuan ini harus secara normal berjalan pada jalur dan fungsinya masing-masing.

Internasilasi posisi manusia sebagai sub-sistem alam semesta diharapkan akan mampu membangkitkan kesadaran kritis untuk bersedia merekonstruksi setiap klaim superioritas atas alam. Ketika manusia mampu melewati tahapan kesadaran kerdil tersebut dan menggantinya dengan cara pandang yang utuh dan jujur atas realitas ekologis, maka bagi Whitehead dia berarti telah berevolusi menjadi sebuah ”diri ekologis”. Yaitu “diri” yang mempunyai tanggung jawab untuk melestarikan dan menciptakan keselarasan hubungan dengan satuan-satuan aktual lainnya, yang sadar bahwa koeksistensinya dengan alam adalah niscaya demi keberlangsungan dirinya dan generasi-generasi berikutnya. Lebih dari itu, dia adalah sebagai wujud pengakuan diri atas supremasi Pencipta Yang Maha Agung.

Bestari, No.251/TH.XXII/JUNI/2009

Cecep Zakarias El Bilad



Dilema Politik Pesantren
July 9, 2009, 1:43 am
Filed under: Essay | Tags:

Dilema Politik Pesantren

Satu tradisi yang tidak pernah terlewatkan di setiap musim kampaye pilpres adalah kunjungan para capres-cawapres ke pondok-pondok pesantren. Tradisi ini muncul paling tidak pada beberapa kali pemilu pasca reformasi 1998 sehubungan dengan munculnya partai-partai yang berbasis Islam. Bahkan beberapa partai Islam itu memiliki dukungan massa yang besar seperti PKB, PBB, PAN dan PKS.

Pondok-pondok pesantren yang kerap dikunjungi adalah yang memiliki reputasi dan nama besar seperti Lirboyo, Langitan dan Buntet Pesantren. Pada musim kampanye kali ini pun tradisi ini kembali dilakukan para capres-cawapres beberapa waktu lalu. Cawapres Boediono, misalnya, pada minggu (31/5) berkunjung ke Ponpes Lirboyo, Kediri, pimpinan KH. Idris Marzuki. Sementara itu pada hari yang sama capres Jusuf Kalla berkunjung ke Gresik meresmikan Ponpes Darussalam, Desa Katimoho, Kecamatan Kedamean yang diasuh KH. Muhtadi.

Pondok pesantren selalu konotatif dengan ketokohan pengasuhnya (kyai). Seorang kyai memiliki karisma di masyarakat dan juga memiliki kedekatan emosional ataupun organisasional dengan ormas Islam mainstream NU. Oleh karenanya, pondok pesantren memiliki korelasi kuat dengan simpul-simpul massa Islam terutama dari kalangan Nahdhiyyin (NU). Kunjungan para capres-cawapres itu ke pondok-pondok pesantren menjelang pemilu diakui atau tidak ditujukan untuk mencari simpati massa melalui restu para pengasuh pesantren.

Menghambat Demokrasi

Di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia, hubungan patron-klien masih menjadi tipe utama partisipasi politik (Rod Hague, Martin Harrop dan Shaun Breslin, Comparative Government and Politics: an Introduction, 1992). Dalam hal ini, individu-individu masyarakat tidak secara mandiri memberikan sikap dan dukungan politiknya. Akan tetapi didasarkan pada loyatitas terhadap individu atau kelompok tertentu yang menghegemoni. Untuk konteks Indonesia, ulama (kyai) merupakan patron politik bagi massa religius akar rumput yang jumlahnya cukup besar. Maka kunjungan ke pondok-pondok pesantren menjadi manuver politik yang stategis.

Hal ini menjadi ironi. Sebagai lembaga pendidikan agama yang sekaligus menjadi rujukan moral dan religius masyarakat, pesantren seharusnya menjaga jarak dari politik. agar netralitasnya tetap terjaga. Netralitas ini sangat penting untuk menjamin profesionalismenya dalam mendidik generasi-generasi intelektual yang religius, humanis dan beradab.

Kontaminasi politik terhadap institusi pesantren tentu berdampak signifikan terhadap proses pendidikan politik para santri dan masyarakat. Paling tidak ada tiga pertimbangan yang perlu diperhatikan. Pertama, dukungan terbuka seorang kyai pengasuh pesantren pada pasangan capres-cawapres tertentu akan menjadi semacam fatwa bagi para santri dan masyarakat untuk memilih pasangan capres-cawapres tersebut. Walaupun kyai tersebut tidak secara tegas menfatwakannya. Sebabnya adalah budaya takzim kepada kyai (guru) di kalangan para santri dan sebagian masyarakat. Sehingga apapun langkah atau pilihan sang kyai (termasuk pilihan politik) akan mereka ikuti.

Di satu sisi, budaya semacam tidak menjadi persoalan. Namun dalam konteks politik, budaya ini kontraproduktif terhadap pembangunan nilai-nilai demokrasi. Masyarakat harus mampu menentukan preferensi politiknya sesuai dengan pandangan yang rasional, tanpa dipengaruhi oleh orang atau kelompok tertentu. Ketika dihadapkan pada tiga pilihan pasangan capres-cawapres pada 8 Juni mendatang, masyarakat dapat memilih pasangan sesuai dengan hati nurani dan analisa rasional atas pasangan pilihannya berdasarkan kualitas dan kapabilitasnya.

Kedua, keberpihakan politik pesantren terhadap pasangan capres-cawapres tertentu berpotensi menimbulkan konflik di dalam tubuh pesantren tersebut. Hubungannya pun dengan masyarakat dan pesantren lain yang berbeda pandangan politik, sedikit banyak akan terganggu. Hal ini tentu akan berdampak negatif terhadap profesionalitasnya dalam menyelenggarakan pendidikan. Kecuali bila ada manajemen yang baik dalam mengelola disparitas pandangan politik ini. Bila tidak, maka akan berujung pada konflik/persaingan yang tidak sehat di dalamnya, sehingga kredibilitasnya dipertaruhkan di mata para santri, orangtua santri, dan masyarkat.

Sejarah politik Islam memberikan pelajaran yang amat berharga tentang perpecahan akibat persinggunggan agama dengan politik. Munculnya mazhab Syiah, sebagai contoh, berakar dari perbedaan preferensi politik di antara para sahabat tentang siapa yang paling layak menggantikan posisi Nabi SAW setelah wafatannya, apakah para sahabat atau ahl al-bait-nya (sanak keluarga, dalam hal ini Ali bin Abi Thalib). Konflik-konflik politis di antara para sahabat dan ulama semacam ini terus berlanjut pada era dinasti-dinasti Islam.

Ketiga, agama sangat rentan untuk dipolitisasi dalam bentuk justifikasi pandangan politik dengan dalil-dalil agama. Dalam kapasitasnya sebagai tokoh dan guru spiritual, seorang  kyai tentunya selalu mendasarkan setiap pandangannya pada teks-teks agama (Islam), begitu pun dengan pilihan politiknya. Akan menjadi tidak bijaksana ketika pandangan politiknya dipaksakan kepada umat. Menurut pengalaman penulis sendiri saat mondok di salah satu pesantren di Jawa Barat, ada oknum kyai yang menyesatkan/mengharamkan memilih partai selain yang didukungnya. Dia bahkan mengklaim, barang siapa yang tidak memilih partai A, atau memilih partai B, C atau D maka akan masuk neraka.

Bila gejala semacam ini terus berlangsung, dikhawatirkan kredibilitas pesantren sebagai referensi moral dan religius masyarakat akan sirna. Masyarakat Indonesia sangat membutuhkan tuntunan dan teladan menghadapi kondisi negara yang carut-marut akibat konflik di antara para elit yang tak kunjung usai. Pesantren dengan para kyai dan ustadznya memiliki peran strategis untuk melaksakan tugas ini. Bila tidak, ke mana masyarakat kemudian akan mengadu?

Oleh. Cecep Zakarias El Bilad



Menakar Harga Diri Bangsa
July 9, 2009, 1:39 am
Filed under: Essay | Tags:

Menakar Harga Diri Bangsa

Cecep Zakarias El Bilad

“Kalau kata-kata saja tidak dapat menyehatkan jiwa yang keblinger, apa boleh buat, suruhlah senjata berbicara – satu bahasa yang lebih kuat lagi.” Kalimat tegas berapi-api ini adalah petikan pidato Bung Karno saat memberi komando pembebasan Irian Barat.

Betapa besar nyali bangsa Indonesia saat itu. Dengan segala keterbatasannya karena baru merdeka, Indonesia berani menantang kekuatan kolonial dengan senjata. Dan  masih banyak lagi catatan-catatan tentang kewibawaan Indonesia di mata dunia pada saat itu. Namun setelah hampir 64 tahun merdeka, masihkah bangsa yang gagah itu menganggap penting harga diri? Masihkah Indonesia bernyali melawan pelecehan kedaulatan oleh bangsa asing seperti yang dilakukan Malaysia di blok Ambalat?

Bagi sebuah negara, kedaulatan adalah harga mati yang harus dijaga dan pada saat-saat tertentu harus diprioritaskan. Kedaulatan negara mencakup dua hal, wewenang dan wilayah. Kedaulatan wewenang berupa supremasi legal negara atas keamanan dan kesejahteraan rakyatnya.  Sedangkan kedaulatan wilayah merupakan hak legal kekuasaan negara atas  ruang wilayah dalam tapal batas tertentu.

Dua cakupan ini menegaskan bahwa kedaulatan adalah mutlak. Itulah mengapa persoalan Ambalat, misalnya, bukanlah kasus sepele. Persoalan ini tidak hanya menyangkut pelanggaran hak teritorial Indonesia oleh Malaysia. Namun juga Malaysia memiliki kepentingan terkait ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam di wilayah Ambalat.

Materialisme dan Idealisme

Mungkin terlalu idealis bagi sebagian orang untuk berbicara tentang harga diri bangsa. Namun pembicaraan tentang itu perlu untuk menakar kembali kadar nasionalisme. Pergantian episode politik terus bergulir, namun belum juga mampu menyelesaikan persoalan-persoalan dasar seperti kemiskinan dan korupsi. Akan tetapi bukan berarti semua itu lantas membuat kita apatis terhadap wilayah idealisme, dalam hal ini harga diri bangsa. Justru di sinilah letak ujian untuk kita menunjukkan martabat bangsa di antara himpitan pragmatisme materialistik dan idealisme.

Di tengah globalisme ekonomi dan politik seperti sekarang ini, pola hubungan antarnegara lebih diwarnai oleh kerjasama fungionalis baik bilateral, regional maupun global. Dalam konteks Asia Tenggara sendiri, misalnya, negara-negara yang tergabung dalam ASEAN telah mengukuhkan kerjasamanya pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-13 2007 di Singapura melalui pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015.

Kecenderungan semacam ini mulai marak paling tidak sejak berakhirnya Perang Dingin pada 1989. Berakhirnya Perang Dingin mengarahkan dunia pada globalisasi dan akselerasi perkembangan pasar di seluruh dunia (John Baylis & Steve Smith, 2005:141). Sejak itu militer tidak lagi menjadi simbol kekuatan dan instrumen politik luar negeri negara-negara, digantikan dengan ekonomi.

Pandangan ini dikukuhkan oleh keyakinan kaum Liberal Institusional (neoliberalisme). Bahwa institusi internasional seperti Bank Dunia, IMF, Uni Eropa dan ASEAN berperan sangat penting dalam mewujudkan kerjasama dan stabilitas dunia. Institusi-institusi tersebut menyediakan informasi, mereduksi biaya transaksi, membuat komitmen yang lebih kredibel, menjadi pusat koordinasi dan memfasilitasi berjalannya repricosity (Keohane&Martin, 1995:42).

Namun begitu, naluri berkonflik pada negara secara militer hakekatnya masih ada. Ini terlihat pada laporan Lembaga Riset Perdamaian Internasional Stockholm, Swedia (Kompas, 7/6). Pengeluaran belanja senjata dunia pada tahun 2008 mencapai 1,464 triliun dolar AS. Anggaran senjata dunia ini naik 4 persen dari tahun 2007 dan 45 persen dibandingkan dengan tahun 1999. Laporan itu menyebutkan, kenaikan anggaran ini terutama terkait dengan perang Irak, kembalinya Rusia dan China sebagai pemain global.

Data di atas menunjukkan, tidak adanya nilai murni dalam empirisme politik antarnegara. Nilai-nilai realisme politik internasional tetap berlaku. Bahwa sistem internasional adalah anarki (Kennetz Waltz, 1959). Kepentingan nasional menjadi prioritas utama dalam hubungan antarnegara. Dalam sistem yang anarki ini, negara akan melakukan tindakan apapun , termasuk opsi militer, untuk menjamin kepentingan nasionalnya.

Dalam hal ini, kepentingan nasional dapat dimaknakan secara lebih mendasar. Tidak hanya sebatas kepentingan materialis, tetapi juga idealis. Bagi Malaysia blok Ambalat mungkin sebatas bermakna materialis berupa kekayaan biota laut, ladang minyak dan gas alam laut. Namun bagi Indonesia, rongrongan Malaysia yang berulang kali atas wilayah kedaulatannya itu tidak hanya membahayakan aspek material kepentingan nasionalnya, tetapi juga telah menyentuh aspek transendentalnya akan harga diri.

Urgensi Power

Dalam realitas pertarungan realisme (anarki) dan liberalisme (kerjasama) ini, Indonesia harus bersikap proporsional. Diplomasi retoris tidak mencukupi. Negara perlu memiliki kekuatan militer yang tangguh sebagai modalitas diplomasi.

Diplomasi retoris selama ini belum mampu mengatasi berbagai permasalahan dengan negara tetangga Malaysia secara menyeluruh. Permasalahan-permasalahan itu masih ditangani secara sporadis. Itu pun sering kali menemui jalan buntu.  Bargaining position Indonesia lemah, karena tidak memiliki alat penekan. Maka ketika menemui kebuntuan, Indonesia tidak mampu menunjukkan sikap tegas. Resolusi pun cenderung terbengkalai hingga muncul masalah-masalah berikutnya. Kasus Ambalat, Manohara, penyiksaan Siti Hajar oleh majikannya dan tewasnya Nurul Widayanti adalah buncahan gelembung-gelembung permasalahan dengan Malaysia yang tak kunjung terselesaikan.

Satu-satunya alat penekan diplomasi yang paling memungkinkan saat ini adalah kekuatan militer. Indonesia harus segera memperbaiki sistem dan meningkatkan kekuatan pertahanannya. Militer yang tangguh akan menumbuhkan kepercayaan diri negara dalam berinteraksi dengan negara lain. Kuatnya militer akan meningkatkan nilai tawar politik luar negeri Indonesia.

Di samping tuntutan agar memberikan daya tekan psikologis dalam diplomasi, luasnya wilayah darat dan laut juga menuntut negara untuk memiliki sistem pertahanan yang kuat. Maka sangat memilukan ketika pesawat-pesawat militer kita jatuh hanya karena persoalan teknis seperti mesin pesawat sudah tua. Jelas ini berdampak negatif terhadap posisi tawar Indonesia di mata internasional khususnya Malaysia. Harga diri bangsa pun akhirnya dipertaruhkan.

Kemudian, ekonomi adalah alternatif berikutnya. Ekonomi akan menjadi instrumen penekan efektif ketika pertumbuhannya melingkupi makro dan mikro. Dengan begitu persoalan seperti yang dialami Siti Khadijah akan terselesaikan dengan sendirinya karena tersedianya lapangan pekerjaan yang layak di dalam negeri. Militer yang kuat akan mengawal pertumbuhan ekonomi ini.

Peningkatan kekuatan pertahanan  hanyalah upaya realistis dalam mensikapi realisme hubungan antarnegara. Namun langkah-langkah diplomatis untuk menyelesaikan setiap permasalahan dengan negara lain tetap menjadi yang utama. Perdamaian abadi adalah cita-cita setiap negara demokrasi yang juga merupakan amanat bangsa dalam UUD 1945.

Malang, 18 Juni 2009.



Membangun Kesadaran Ekologis sebagai Upaya Pencegahan Bencana Alam
July 9, 2009, 1:11 am
Filed under: Essay | Tags:

Membangun Kesadaran Ekologis sebagai Upaya Pencegahan Bencana Alam

Abstract: Recently natural disaster has become the most occurring phenomenon in the the world. There are always victims in that like flood, landslide and aridity.  This indicates a disorder between humanity and the cosmos that constitutes a system of equilibrium. Natural disaster is an abnormality that means something has go wrong in the nature.

Keywords: destruktif, kesadaran ekologis, alam, pola hubungan, bencana, upaya.

A. Pendahuluan

Salah satu permasalahan serius dan paling mendasar yang saat ini dihadapi oleh umat manusia adalah kerusakan lingkungan hidup. Permasalahan ini dikatakan serius karena level kerusakannya telah sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan kehidupan di bumi termasuk kehidupan manusia sendiri.

Permasalahan ini juga dianggap mendasar karena menyangkut pola kehidupan manusia secara umum. Berbagai aktifitas kehidupan sehari-hari manusia sering kali menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem yang ada baik itu dilakukan secara sadar maupun tanpa sadar.  Pola kehidupan merupakan proyeksi pola pikir setiap orang mengenai lingkungannya. Oleh karena itu permasalahan lingkungan yang diakibatkan oleh pola kehidupan manusia yang menimbulkan residu destruktif terhadap alam pada dasarnya merupakan efek negatif dari pola pikir yang destruktif terhadap alam.

Permasalahan kerusakan lingkungan menempatkan dua aktor dalam posisi yang berbeda secara diametral, yaitu manusia dan alam. Manusia merupakan entitas hidup yang eksistensinya tidak bisa lepas dari alam. Manusia hidup di atas bumi. Ketika mati pun manusia akan dikubur dan akan terurai menjadi tanah (menyatu dengan alam). Akan tetapi dalam persoalan interaksi dengan lingkungannya (alam) baik yang hidup maupun yang tidak hidup, manusia selalu memposisikan diri sebagai pemilik, dan alam adalah sebagai yang dimiliki.

Dalam posisi demikian, manusia tentu dapat memperlakukan alam sebagaimana yang dikehendakinya. Hampir semua daratan di muka bumi ini telah dimiliki oleh manusia. Tanah-tanah yang ada telah dipetak-petakkan untuk dijadikan hak milik manusia dengan kadar luas masing-masing. Manusia kemudian mengelola tanah miliknya itu untuk hal-hal yang membawa keuntungan baginya, misalnya membangun rumah, pabrik, toko, perusahaan, tempat wisata, perkebunan, pertambangan, dan lain sebagainya. Dalam posisi sebagai yang dimiliki, alam (non-human) berada dalam posisi marginal. Terlebih lagi alam adalah entitas kebendaan yang evolusioner (gerak dan perubahannya lamban). Sedangkan manusia adalah entitas kebendaan yang hidup dan agresif.

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa akar permasalahan yang menyebabkan kerusakan lingkungan yang terjadi sekarang ini teradapat pada pola interaksi manusia dengan alam sekitarnya. Manusia menempatkan dirinya sebagai superior atas alam. Hak eksploitasi adalah mutlak dimiliki oleh manusia atas alam baik tanah, air maupun udara.

Atas dasar tersebut di atas, pertanyaan yang perlu diajukan sebagai rumusan masalah dalam makalah ini adalah: pertama, apakah manusia perlu mendekonstruksi paradigmanya terhadap alam semesta agar semua kerusakan lingkungan dapat diatasi? Kedua, bagaimanakah mengaplikasikan paradigma baru tersebut secara massif dalam kaitannya dengan struktur sosial yang ada seperti politik, ekonomi, pendidikan dan budaya?

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mendekonstruksi paradigma manusia atas alam semesta dengan menawarkan paradigma baru berdasarkan pemikiran-pemikiran para ahli lingkungan. Paradigma terhadap alam semesta yang selama ini mengakar dalam benak umat manusia dan telah dijadikan pijakan dalam berinteraksi dengan alam sekitar telah menimbulkan banyak  permasalahan lingkungan yang dampaknya juga dirasakan oleh manusia seperti banjir, kekeringan dan pemanasan global. Di samping itu, pembahasan akan dilanjutkan pada penjabaran paradigma baru tersebut dalam konteks struktur sosial yang tersedia seperti politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan, sehingga sampai pada kesimpulan tentang konsep dan mekanisme penyelamatan lingkungan yang integratif.

Tulisan ini bermanfaat dapat memberikan beberapa manfaat: pertama, untuk membuka  pemahaman baru bagi pembaca tentang persoalan lingkungan. kedua, dapat dijadikan landasan untuk mengembangkan gagasan-gagasan baru tentang isu ekologi untuk kemudian mengadakan penelitian lebih lanjut. Ketiga, menambah referensi tentang pemikiran ekologis.

Ada beberapa konsep yang terlebih dahulu perlu dipahami untuk mempermudah pembahasan masalah dalam tulisan ini, di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. B. Permasalahan Lingkungan

Bencana alam sudah seperti menjadi rutinitas dalam kehidupan manusia khususnya di Indonesia. Setiap musim yang ada selalu mendatangkan bencana yang mengakibatkan kerugian bagi manusia baik nyawa maupun harta benda. Di Indonesia bencana alam sering terjadi baik di musim hujan maupun di musim kemarau. Pada musim hujan bencana yang sering terjadi adalah banjir dan tanah longsor. Sedangkan di musim kemarau yang sering terjadi adalah kekeringan dan kebakaran hutan. Di samping itu ada juga beberapa bencana alam yang sering terjadi namun tidak terkait langsung dengan dua musim tersebut di antaranya gempabumi, gunung meletus, tsunami, angin puting beliung dan penyakit seperti malaria, demam berdarah dan flu burung.

Bencana alam yang sering terjadi khususnya di Indonesia adalah bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia baik langsung maupun tidak langsung, misalnya banjir, kekeringan, polusi dan tanah longsor. Bencana-bencana ini frekuensinya semakin sering oleh adanya fenomena pemanasan global (Global Warming).

Sumber : BMG

Berikut ini adalah pemaparan tentang bencana-bencana yang sering terjadi dan yang saat ini dirasakan oleh manusia secara global. benc

  1. Banjir

Banjir adalah peristiwa terbenamnya daratan yang biasanya kering karena peningkatan volume air. Banjir terjadi karena peluapan air yang berlebihan di suatu tempat akibat hujan besar, peluapan air sungai, waduk atau danau, atau pecahnya bendungan sungai, waduk atau danau.

Luapan tersebut terjadi karena air hujan tidak terserap dan terdistribusikan dengan baik. Dalam kondisi normal air hujan yang turun ke bumi akan terserap ke dalam tanah. Penyerapan ini dibantu oleh akar-akar tanaman untuk disimpan di dalam tanah dan untuk kebutuhan metabolisme tanaman itu sendiri. Selebihnya air hujan tertampung di laut dan di sungai-sungai yang akhirnya akan mengalir ke laut. Air-air yang ada di dalam tanah, sungai dan laut tersebut kemudian akan menguap ke udara dengan bantuan sinarmatahari dan menjadi awan yang akhirnya akan berproses kembali menjadi hujan. Begitulah seterusnya siklus air di bumi.

Banjir terjadi ketika siklus air tersebut tidak berjalan dengan normal. satu atau beberapa tahapan di dalam siklus tersebut tidak berjalan dengan semestinya.  Air hujan yang tidak meresap ke dalam tanah sebagaimana mestinya dapat menyebabkan luapan. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya jumlah tumbuhan pada satu daerah tertentu akibat pembalakan liar, alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan, pertambangan atau perumahan yang melebihi batas kewajaran.

Bencana yang diakibatkan oleh aktifitas-aktifitas tersebut di atas biasanya adalah banjir bandang pada daerah-daerah yang lebih rendah. Sebagai contoh, pada tahun 2008 di seluruh wilayah Indonesia terjadi 401 kali bencana banjir dan 36 kali banjir bandang.[1] Pada bulan Juni tahun 2006 terjadi banjir besar di Kalimantan Selatan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat,[2] penyebab utama banjir tersebut adalah luasnya lahan kritis di Kalimantan Selatan. Berikut adalah data luas hutan dan lahan kritis di Kalimantan Selatan:

No

Kabupaten/Kota

Luas (ha)

Lahan Kritis

(ha)

Lahan Sangat

Kritis (ha)

Total Lahan

kritis (ha)

Lahan

Kritis

(%)

1

Kotabaru

942.273

100.343,50

0,00

100.343,50

10,65

2

Tanah Bumbu

506.696

50.517,24

0,00

50.517,24

9,97

3

Tanah Laut

372.930

49.248,64

0,00

49.248,64

13,21

4.

Banjar

471.097

96.907,23

24.144,80

121.051,98

25,70

5.

Tabalong

359.950

41.644

0,00

41.644,00

11,57

6.

HSU

95.125

0,00

0,00

0,00

0,00

7.

Balangan

181.975

36.215,03

0,00

36.215,03

19,90

8.

HST

147.200

13.744,79

0,00

13.744,79

9,34

9.

Tapin

217.495

60.134,75

4.924,86

65.059,61

29,91

10.

HSS

180.494

17.602,85

26.835,40

44.438,23

24,62

11.

Banjarbaru

32.883

7.522,00

0,00

7.522,00

22,88

12

Batola

237.622

26.198,00

0,00

26.198,00

11,03

13

Banjarmasin

7.267

0,00

0,00

0,00

0,00

Sumber : Dinas Kehutanan Prop. Kalimantan Selatan (2004)

Peningkatan jumlah dan luas lahan kritis di Kalimantan Selatan tersebut disebabkan oleh meningkatnya jumlah alih fungsi hutan untuk perkebunan dan area tambang batu bata. Namun demikian di samping meningkatnya jumlah lahan kritis sebagai penyebab utama, banjir di Kalimantan Selatan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor lain  yaitu pendangkalan sungai.

  1. Kekeringan

Sebagaimana banjir, kekeringan adalah bencana yang rutin terhadi di Indonesia. Penyebab utama terjadinya kekeringan dan banjir adalah perubahan kawasan hutan di hulu-hilir air yang sebelumnya merupakan daerah resapan air menjadi lahan permukiman, industri, dan pertambangan atau bahkan gundul sama sekali. Akibatnya air hujan yang jatuh langsung mengalir ke sungai, bukan masuk ke dalam tanah. Berkurangnya daerah resapan air mengakibatkan pada musim kemarau aliran air dalam tanah berkurang, sehingga memengaruhi sistem sungai. Sedangkan pada musim hujan akan terjadi banjir karena kurangnya lahan peresap air.

Pada tahun ini banyak wilayah di Indonesia yang terancam kekeringan. Sebagai contoh, Pusat Informasi Bencana di Indonesia melaporkan sebanyak 36 desa di Kabupaten Temanggung rawan kekeringan pada musim kemaru tahun ini.[3] Di Provinsi Banten, daerah-daerah yang pada tahun ini teramcam bencana kekeringan adalah Kecamatan Cikeusik, Munjul, Angsana, Cibaliung, Sobang, Cimanggu, dan Sumur.[4] Selain dua wilayah itu masih banyak lagi wilayah-wilayah di Indonesia yang terancam kekeringan.

  1. 3. Tanah Longsor

Tanah longsor adalah suatu peristiwa geologi di mana terjadi pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah. Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar dari gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut kemiringan lereng, air, beban serta berat jenis tanah batuan.[5]

Ancaman tanah longsor biasanya terjadi pada bulan November, karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar, sehingga mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga-rongga dalam tanah, yang mengakibatkan terjadinya retakan dan rekahan permukaan tanah.

Tanah longsor juga merupakan bencana yang sering terjadi dan cukup mematikan. Pada awal tahun 2006 terjadi tanah longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, dan menewaskan 12 orang dan 200 orang hilang.[6] Tiga bulan yang lalu peristiwa serupa tanah longsor terjadi di Tangerang yaitu jebolnya sebuah danau buatan Situ Gintung yang menewaskan 58 orang. Jebolnya tanggul danau buatan ini disebabkan karena banyaknya pemukiman dan bangunan di sekitar danau yang seharusnya menjadi daerah yang steril dari bangunan dan pemukiman.

  1. 4. Pemanasan Global (Global Warming)

Pemanasan global (global warming) merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi.[7]

Spekulasi tentang peningkatan temperatur global sebenarnya telah ada sejak lama. Pada pergantian abad 20 Arrhenius, seorang naturalis Swedia, berasumsi bahwa peningkatan konsentrasi CO2 akan meningkatkan temperatur global. Kemudian pada 1957 Revelle dan Suess menyatakan bahwa aktivitas-aktivitas manusia telah menimbulkan kondisi yang mengarah pada perubahan iklim global pada beberapa dekade ke depan.[8]

Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dan lain sebagainya. Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb.[9]

  1. C. Upaya Penyelamatan

C.1. Akar Permasalahan

Fenomena bencana alam yang dijelaskan di atas menuntut segera adanya penanggulangan yang serius. Masih tingginya frekuensi bencana dan jumlah manusia yang menjadi korban serta kerugian harta benda menunjukkan selama ini belum ada upaya berarti untuk mengurangi terjadinya bencana. Bahkan pada beberapa tempat/negara frekuensi bencana menunjukkan angka kenaikan dan jenis bencananya pun semakin bervariatif. Misalnya di Indonesia, bencana banjir masih sering terjadi di setiap musim hujan dan jumlah serta luas wilayah yang terkena semakin bertambah.

Upaya penanggulangan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat masih bersifat parsial dan reaktif. Bahkan dalam batas tertentu upaya tersebut bisa dikatakan stagnan. Sebagai contoh adalah banjir tahunan di Jakarta. Hingga saat ini bencana banjir tersebut masih terjadi dan bahkan semakin meluas ke daerah-daerah yang sebelumnya aman dari banjir. Ini menunjukkan bahwa upaya pemerintah DKI Jakarta dalam menangani banjir belum maksimal. Hal ini dapat dilihat di antaranya dari masih belum tertanganinya masalah sampah, pemukiman-pemukiman kumuh di sepanjang daerah aliran sungai dan masalah sanitasi kota.

Banjir, tanah longsor dan kekeringan adalah bencana alam yang disebabkan oleh perilaku manusia sendiri yang tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. Pengrusakan lingkungan tersebut dilakukan oleh manusia baik secara individual maupun massif, baik disengaja maupun tanpa disengaja. Oleh karena itu, permasalahan ini sebenarnya merupakan permasalahan mendasar tentang pola hubungan individu manusia dengan alam. Pola hubungan satu individu manusia dengan individu-individu manusia lain terhadap alam  memiliki kesamaan, sehingga pada tahap tertentu pola hubungan ini dapat memberikan pengaruh yang berarti terhadap alam. Apabila pola tersebut positif maka akan memberikan dampak positif, dan sebaliknya apabila pola ini negatif maka akan memberikan dampak negatif.

Seorang individu misalnya, memandang bahwa rumah yang baik adalah rumah yang memiliki halaman cukup luas yang dapat ditanami bunga-bunga dan tidak boleh ada pohon-pohon besar karena dapat mengurangi keindahan rumah. Setelah beberapa saat tertentu, di sekitar rumah itu berdiri rumah-rumah yang serupa dalam hal keindahan. Hal seperti inilah yang menjadi kecenderungan di masyarakat terutama di Indonesia. Semakin banyak rumah-rumah seperti itu di lingkungan tersebut, tentu saja akan semakin sedikit jumlah pohon-pohon besarnya. Padahal pohon-pohon besar memiliki kemampuan besar untuk menjaga keseimbangan udara dan akar-akarnya mampu menyerap air hujan dalam jumlah banyak. Semakin banyak orang membangun tempat tinggal dengan persepsi keindahan yang semacam itu, akan semakin banyak jumlah pohon yang akan ditebang hanya demi memenuhi hasrat keindahan mereka. Di samping itu, dampaknya adalah wilayah tersebut akan semakin rawan tertimpa bencana banjir karena resapan airnya semakin berkurang.

Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa, persoalan kerusakan lingkungan yang mengakibatkan bencana alam berawal dari persoalan pola interaksi manusia secara individual terhadap alam. Pola interaksi yang selama ini umum dilakukan oleh masyarakat harus dikoreksi, karena menyebabkan berbagai permasalahan lingkungan yang merugikan masyarakat itu sendiri baik secara materi maupun non-materi.

C.2. Persepsi Umum terhadap Alam

Pikiran adalah sumber nilai dan perilaku manusia.  Pola perilaku seseorang ditentukan oleh pikirannya. Pola perilaku tersebut merupakan perwujudan dari pola pikirnya, sehingga perlakuannya terhadap sesuatu juga ditentukan oleh cara dia mempersepsikan sesuatu itu.

Logika ini juga berlaku untuk mengurai pola hubungan manusia (masyarakat) dengan lingkungan di sekitarnya. Selama ini manusia memperlakukan alam sekitar sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dalam pada itu manusia akan mengelolanya semaksimal mungkin untuk mendapatkan manfaat/keuntungan yang maksimal dengan modal dan usaha yang sekecil-kecilnya. Manusia akan berkompetisi satu-sama lain untuk mendapatkan hasil yang terbanyak untuk kemudian dipertukarkan satu sama lain sesuai dengan kehendak dan kebutuhannya. Bahkan manusia menjadikan kepemilikan akan sumber daya alam sebagai satu kebanggaan, karena merupakan salah satu indikator kekayaan, kebesaran atau kehormatan. Semakin banyak yang dimiliki semakin besar kebanggaannya.

Manusia pada umumnya menganggap bahwa alam dengan segala sumber dayanya merupakan sesuatu yang berhak dan diperuntukkan bagi dirinya. Manusia memposisikan diri sebagai pemilik sumber daya tersebut, sehingga dengan posisinya itu dia dapat secara bebas memperlakukannya sesuai dengan hasrat dan kebutuhan.

Dalam mengelolanya manusia dapat mempergunakan cara dan alat apapun selama dia mendapatkan kemudahan dan hasil  yang maksimal. Saat dia tidak mampu mengelolanya sendiri maka dia akan melakukannya dengan bantuan orang lain dan dengan cara, alat serta sarana yang bervariatif. Ketika sumber daya alam tersebut di atas kemampuan dirinya untuk dikelola sendiri karena terkait dengan kepentingan banyak orang, maka pengelolaannya dilakukan secara kolektif dan representatif oleh negara agar tidak terjadi konflik antarsesama karena keterbatasan sumber daya tersebut. Ketika negara tidak cukup mampu mengelolanya secara maksimal dan proprosional, maka manusia akan menggunakan sarana yang lebih besar lagi. Maka terbentuklah organisasi-organisasi transnasional baik dalam lingkup regional maupun global seperti ASEAN, OPEC, GCC dan Uni Eropa.

Dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut manusia menjadikan materi sebagai orientasi keuntungan. Ketika pengelolaannya dilakukan secara kolektif oleh negara maka yang menjadi prinsip distribusi hasil pengelolaannya adalah keadilan. Namun demikian keadilan di sini adalah sebatas keadilan sebagai sesama warganegara. Prinsip tersebut menganggap setiap warganegara berhak mendapatkan pembagian yang merata hasil pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara.

Persepsi terhadap alam yang demikian itu tidak begitu menganggap signifikan kelestarian sumber daya alam. Menjadikan kelestarian alam sebagai pertimbangan akan mengurangi hasil materi yang akan didapatkan. Cara berpikir semacam ini adalah yang umum dimiliki oleh masyarakat dari waktu ke waktu dan di  seluruh tempat di muka bumi. Maka dari itu, konsekuensinya adalah timbulnya banyak bencana alam yang menyebabkan kerugian bagi manusia itu sendiri.

C.3. Menanamkan Kesadaran Ekologis

Perubahan mendasar terhadap cara pandang manusia terhadap alam harus dilakukan. Perubahan ini sangat urgen karena akan merubah pula perlakuan manusia atas alam. Manusia harus memiliki persepsi  yang lebih adil terhadap alam, sehingga tidak lagi mengelola alam secara over-eksploitatif. Over-eksploitasi terhadap alam telah terbukti merugikan manusia sendiri dengan adanya bencana-bencana seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan. Mulai saat ini manusia harus menjadikan alam sebagai sahabat yang layak dan harus dihormati hak-haknya.

Manusia bukan merupakan supremasi  yang independen. Walaupun memiliki kelebihan dengan memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia tetap memerlukan alam untuk kelangsungan hidupnya dan anak-cucunya. Menurut Arne Naess (1972) dan George Seassions (1985) alam beserta dengan segala kekayaan dan varietas kehidupan di dalamnya memiliki nilai-nilai intrinsiknya masing-masing.[10] Manusia adalah bagian dari varietas kehidupan yang membentuk ala mini. Semuanya memiliki hubungan dan kertergantungan satu sama lain.[11] Oleh karena itu manusia harus menjaga keberadaan benda-benda lain baik yang  hidup maupun tidak hidup demi kelestarian dirinya. Manusia harus mempertimbangkan kelestarian sumber daya alam saat mengelolanya. Itu pun hanya dilakukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasarnya saja.

Manusia harus memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah milik alam semesta. Manusia dituntut untuk selalu menjaga keseimbangan alam karena hanya dengan keseimbangan normalitas alam akan terjaga. Dengan kata lain, bencana alam tidak akan terjadi jika alam berjalan dalam keseimbangan alamiahnya. Banjir tidak akan terjadi jika siklus air berlangsung dengan baik. Keberlangsungan siklus ini mensyaratkan adanya jumlah tumbuhan yang cukup untuk menampung debit air hujan, sungai-sungai yang bersih sampah dan polusi agar air hujan yang tidak terserap oleh tanah dapat dialirkan ke laut, dan suhu udara yang normal agar penguapan air berlangsung normal. Kondisi semacam ini dapat terjadi apabila manusia memperlakukan alam secara adil. Segala aktifitas yang detruktif terhadap alam dihentikan, seperti pembalakan liar, membuang sampah sembarangan, polusi (air, udara dan tanah) dan produksi emisi berlebihan.

C.4. Upaya Bersama

Sebagai upaya penyelamatan sekaligus preventif terhadap kerusakan alam yang lebih parah, persepsi baru terhadap alam seperti yang dijelaskan di atas harus dimiliki oleh setiap individu. Upaya yang bersifat kosmik dengan melibatkan setiap individu manusia ini merupakan langkah pertama penyelamatan. Dalam struktur sosial, individu dapat dibedakan ke dalam dua kelompok secara fungsional, yaitu individu biasa dan individu elit.

Individu biasa maksudnya adalah individu yang berada pada kelas menengah ke bawah baik ekonomi, sosial maupun politiknya seperti guru, petani, pedagang dan buruh. Individu pada kelas ini yang memiliki kesadaran ekologis akan memberikan kontribusi terbatas dalam menjaga atau menyelamatkan lingkungan, misalnya hanya sekitar rumah, tempat kerja dan tetangga serta teman-temannya. Signifikansinya akan tampak ketika dilakukan secara massif.

Sedangkan individu elit adalah individu yang berada pada kelas sosial atas seperti presiden, menteri, pengusaha dan anggota parlemen. Individu pada level ini yang memiliki kesadaran ekologis akan memberikan dampak besar walaupun hanya seorang saja. Misalkan, seorang pemilik perusahaan pertambangan adalah orang yang memiliki kesadaran ekologis. Dalam kapasitasnya itu tentu dia akan mengelola puluhan atau ratusan hektar tanah pertambangannya dengan penuh pertimbangan akan kelestarian lingkungannya. Dia pun akan menjalankan sistem dan strategi bisnis yang ramah lingkungan. Apabila kesadaran semacam ini dimiliki oleh setiap individu pemilik perusahaan pertambangan tentu kerusakan hutan dan lahan seperti  yang saat ini ada tidak akan terjadi.

Setelah persepsi baru tentang alam seperti yang dijelaskan tersebut di atas dimiliki oleh setiap individu, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah menjadikannya sebagai landasan untuk membuat upaya penyelamatan lingkungan dari kerusakan dalam kerangka politik. Negara harus menerapkan kebijakan-kebijakan yang ramah lingkungan. Misalnya, negara membuat undang-undang penyelamatan lingkungan yang melingkupi berbagai bidang seperti pertanian, kehutanan, kelautan, pertambangan dan industri. Di samping itu negara juga harus memiliki mekanisme hukum yang tegas untuk menindak setiap pelanggaran undang-undang tersebut.

Kesadaran individual untuk melestarikan lingkungan yang dipadukan dengan upaya politik dalam konteks negara merupakan upaya integral untuk menyelamatkan lingkungan beserta sumber daya yang terkandung di dalamnya. Ini adalah proses yang memerlukan waktu panjang dan upaya serius dari semua pihak. Penanaman kesadaran ekologis ini dapat ditempuh melalui jalur pendidikan. Secara formal proses ini bisa dilakukan di sekolah-sekolah dan universitas melalui kurikulum dan juga praktek keseharian di lembaga tersebut. Sedangkan secara informan bisa dilakukan melalu seminar, pelatihan dan penyuluhan yang dilakukan secara intens kepada seluruh komponen masyarakat.

Proses ini memerlukan keterlibatan semua pihak dalam masyarakat terutama civil society dan pemerintah sendiri. Namun semuanya kembali pada diri kita masing-masing untuk menentukan kapan proses panjang ini akan dimulai.

  1. D. Kesimpulan

Kerusakan lingkungan adalah persoalan serius yang dihadapi umat manusia saat ini dan akan datang.  Dampaknya saat ini sudah sering dirasakan oleh manusia sendiri dalam bentuk bencana-bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, naiknya permukaan air laut dan pemanasan global.

Kerusakan lingkungan diakibatkan oleh aktivitas-aktivitas manusia sendiri baik secara sengaja ataupun tidak sengaja. Ini adalah persoalan mendasar yaitu pola perilaku manusia terhadap alam yang destruktif. Pola perilaku destruktif ini berakar dari pola pikir yang destruktif pula. Manusia menganggap dirinya sebagai pemilik alam yang tentu saja berhak memperlakukannya sesuai kehendak dan kebutuhannya.

Perasaan superior atas alam inilah yang menyebabkan semua kerusakan yang ada. Dengan kata lain, semua bencana yang disebutkan di atas sebenarnya adalah ulah manusia sendiri. Oleh karena itu, diperlukan rekonstruksi paradigma terhadap alam.

Paradigma antroposentris yang menganggap manusia adalah superior atau pusat alam semesta harus dirubah dengan paradigma yang egaliter terhadap alam. Manusia adalah bagian dari alam semesta yang saling terhubung dan bergantung satu sama lain. Kehancuran alam berarti kehancuran umat manusia.

Kesadaran ekologis semacam ini harus dimiliki oleh setiap individu baik individu biasa maupun individu elit. Individu biasa maksudnya adalah individu yang berada pada kelas menengah ke bawah baik ekonomi, sosial maupun politiknya seperti guru, petani, pedagang dan buruh. Sedangkan individu elit adalah individu yang berada pada kelas sosial atas seperti presiden, menteri, pengusaha dan anggota parlemen.

Setelah masing-masing individu memiliki kesadaran ekologis, maka langkah selanjutnya adalah menjadikan kesadaran ini sebagai landasan untuk membuat upaya penyelamatan lingkungan dari kerusakan dalam kerangka politik. Negara harus menerapkan kebijakan-kebijakan yang ramah lingkungan.

Kesadaran individual untuk melestarikan lingkungan yang dipadukan dengan upaya politik dalam konteks negara merupakan upaya integral untuk menyelamatkan lingkungan beserta sumber daya yang terkandung di dalamnya. Namun demikian, proses ini memerlukan waktu dan usaha serius dari segenap masyarakat.

Malang, 23 Juni 2009.

Cecep Zakarias El Bilad

  1. E. Daftar Pustaka

Buku

Frey, R. Scott (editor), The Environment and Society Reader, Allyn&Bacon, Boston, 2001.

Harper, Charles L., Environment and Society: Human Perspectives on Environmental Issues, Prentice-Hall,Inc., New Jersey, 2001.

Internet

http://www.cw.utwente.nl/theorieenoverzicht/Theory%20clusters/Organizational%20Communication/System_Theory.doc/

http://www.ppk-depkes.org/index.php?option=com_databencana&Itemid=163

http://lemlit.unlam.ac.id/wp-content/uploads/2008/02/yudi-firmanul-a.pdf

http://mediacenter.or.id/headline/tahun/2009/bulan/05/tanggal/22/1669/36-desa-rawan-kekeringan.html

http://www.koranbanten.com/2009/03/23/pandeglang-selatan-terancam-kekeringan/

http://www.esdm.go.id/berita/geologi/42-geologi/1162-faktor-faktor-penyebab-tanah-longsor.html

http://www.voanews.com/indonesian/archive/2006-01/2006-01-04-voa8.cfm?moddate=2006-01-04

http://geo.ugm.ac.id/archives/28


[1] http://www.ppk-depkes.org/index.php?option=com_databencana&Itemid=163

[2] http://lemlit.unlam.ac.id/wp-content/uploads/2008/02/yudi-firmanul-a.pdf

[3] http://mediacenter.or.id/headline/tahun/2009/bulan/05/tanggal/22/1669/36-desa-rawan-kekeringan.html

[4] http://www.koranbanten.com/2009/03/23/pandeglang-selatan-terancam-kekeringan/

[5] http://www.esdm.go.id/berita/geologi/42-geologi/1162-faktor-faktor-penyebab-tanah-longsor.html

[6] http://www.voanews.com/indonesian/archive/2006-01/2006-01-04-voa8.cfm?moddate=2006-01-04

[7] http://geo.ugm.ac.id/archives/28

[8] Charles L. Harper, Environment and Society: Human Perspectives on Environmental Issues, Prentice-Hall,Inc., New Jersey, 2001. Hal, 12.

[9] Ibid.

[10] Charles L. Harper, Environment and Society: Human Perspectives on Environmental Issues, Prentice-Hall,Inc., New Jersey, 2001. Hal, 12.

[11] R. Scott Frey (editor), The Environment and Society Reader, Allyn&Bacon, Boston, 2001. Hal,229.



Balochistan, Islam, dan Masalah National Identity di Pakistan
July 9, 2009, 12:51 am
Filed under: Essay | Tags:

Balochistan, Islam, dan Masalah National Identity di Pakistan

Pakistan adalah negara di Asia Selatan  yang terbesar kedua baik secara georgafis maupun demografis setelah India. Luas wilayah Pakistan adalah 803,940 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2006 sekitar 165.803.560 jiwa. Mayoritas penduduknya adalah muslim (Sunni).

Pakistan merupakan wilayah konflik terpanas di Asia Selatan. Konflik-konlflik yang terjadi memiliki kompleksitas yang tinggi karena di samping secara internal negara tersebut masih menghadapi berbagai permasalahan politik, etnis, sosial dan agama, secara eksternal Pakistan masih memiliki persoalan perbatasan dengan India. Tidak hanya itu konflik etnis dan agama yang terjadi di Pakistan memiliki keterkaitan erat dengan konflik agama di negara tetangganya, Afganistan. Sebagai dampaknya, misalkan, Pakistan menjadi negara yang paling banyak menampung para pengungsi dari Afganistan. Pada akhir 2008 terdapat sekitar 1.790.900 warganegara Afghanistan yang mengungsi di Pakistan. Fakta ini menempatkan Pakistan pada peringkat pertama negara-negara penampung pengungsi terbesar di dunia.[1] Wilayah Pakistan yang berbatasan langsung dengan Afghanistan juga menjadi salah satu pusat gerakan-gerakan Islam radikal transnasional seperti Al Qaedah dan Taliban.

Fakta-fakta tersebut di atas adalah sedikit gambaran betapa Pakistan adalah negara yang paling bermasalah di dunia. Topik yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai sebuah konflik internal yang semula dan bisa jadi hingga kini merupakan konflik separatis, yaitu konflik Balochistan dengan pemerintah pusat Pakistan di Islamabad.

  1. A. Balochistan dan Pembangunan Nasional

Konflik Balochistan memang tidak terlalu terekspos oleh media asing karena sifatnya yang fluktuatif dan “kalah pamor” dengan isu Taliban, Kashmir dan Al Qaedah. Persoalan yang mengemuka dalam konflk Balochistan memang berkaitan dengan isu-isu pragmatis yaitu ekonomi, politik dan pelanggaran HAM.

Balochistan adalah wilayah paling kaya di Pakistan karena mensuplai 40% kebutuhan energi Pakistan melalui eksplorasi gas dan batubara. Sedangkan produksi gasnya mencapai 36% produksi gas nasional.[2] Namun dengan kekayaan alam yang melimpah itu Balochistan tercatat sebagai provinsi termiskin di Pakistan. The Social Policy and Development Centre (SPDC) yang berkantor di Karachi mendeskripsikan kondisi kemiskinan di Balochistan sebagai berikut:[3] lebih dari separuh rakyat di provinsi ini hidup di bawah garis kemiskinan, kurang dari 50% penduduk yang menikmati air bersih, kurang dari 50% anak-anak yang menempuh sekolah dasar, 33% bayi yang mendapat imunisasi. Angka buta huruf kaum perempuan adalah yang tertinggi di Pakistan. Hanya 7% perempuan Balochistan yang melek huruf.

Pembangunan akses-akses kebutuhan masyarakat hanya terpusat di Punjab yang ibukontanya, Islamabad, merupakan pusat pemerintahan nasional dan didiami oleh etnik Punjab yang menguasai pemerintahan dan militer. Kemudian peringkat itu selanjutnya diikuti oleh dua provinsi lainnya, Sindh dan North-West Frontier Province. Padahal sumbangan devisa yang diberikan oleh Balochistan setiap tahunnya adalah yang terbesar dibandingkan dengan ketiga provinsi tersebut. Balochistan menyumbangkan Rs 85 miliar per tahun, akan tetapi hanya menerima Rs 7 miliar dari pemerintah pusat,[4] dengan alasan jumlah penduduknya yang tidak sebanyak ketiga provinsi tersebut.

Fakta ketidakadilan di atas menimbulkan protes keras dari rakyat dan para pemimpin Balochistan. Namun pemerintah pusat di Islamabad kurang memperdulikan protes rakyat Balochistan. Eksploitasi kekayaan alam Balochistan terus berlanjut dan begitu halnya dengan ketimpangan pembangunan dan juga pembagian hasil pendapatan negara.

Pengabaian tersebut akhirnya memicu perlawanan bersenjata dari rakyat dan para pemimpin Balochistan. Sejak pembentukan Pakistan pada 1947, telah terjadi beberapa kali konfrontasi berdarah antara kedua belah pihak, yaitu pada 1948, 1958, 1963-1969, 1973-1977, dan 2004-sekarang. Setelah 1973-1977, perlawanan bersenjata dilakukan secara lebih terorganisir dengan dibentuknya dua organ militer yaitu  Balochistan Liberation Army (BLA), Baloch Republican Army (BRA). Tidak banyak diketahui tentang  BLA[5] dan BRA yang dibentuk beberapa lama setelahnya.

Tampaknya dari waktu ke waktu ada semacam kesepakatan opini dari rezim-rezim berkuasa untuk tidak mengabulkan semua tuntutan Balochistan. Hal ini terlihat dari respon pemerintah terhadap konflik tersebut yang lebih sering bersifat subversif, baik itu saat pemerintahan dikuasai oleh rezim militer maupun rezim demokratis. Misalnya adalah operasi militer yang dilancarkan pada Agustus 2008 menewaskan 80 orang. Dalam operasi itu militer menculik 170 orang yang dituduh memiliki hubungan dengan Baloch Nationalist Movements.[6]

Dari lamanya waktu berlangsungnya konflik dan kecenderungan respon subversif dari pemerintah, dapat disimpulkan bahwa konflik Balochistan sebenarnya bukan sebatas konflik kepentingan pragmatis. Ada faktor yang lebih prinsipil yang menyebakan kedua belah pihak sulit untuk mencapai perdamaian. Faktor ini dapat ditelurusi dari dinamika konflik tersebut hingga dari proses awal tergabungnya Balochistan dengan Pakistan. Proses penelusuran ini tentu  berkaitan erat dengan identitas nasional yang hendak dibangun oleh para founding fathers Pakistan.

  1. B. Nasionalisme Pakistan

Setelah hampir 62 tahun merdeka, Pakistan masih memiliki persoalan identitas nasional yang menjadi sebab mendasar terjadinya berbagai konflik internal yang berlarut-larut. Identitas nasional dapat diartikan sebagai norma kultural yang merefleksikan orientasi-orientasi afektif dan cultural yang dimiliki oleh setiap individu terhadap bangsa dan sistem politik nasionalnya.[7]

Merunut pada sejarah kelahirannya, Pakistan lahir dari sebuah keinginan/cita-cita rakyat muslim India yang saat itu masih di bawah mandat Inggris untuk membentuk sebuah negara merdeka terpisah dari India yang didasarkan pada persamaan identitas sebagai muslim. Ketika itu mereka merasa sebagai masyarakat kelas dua karena selalu mendapatkan perlakuan diskrimintatif dalam hal politik, ekonomi, pendidikan, budaya dan bahasa oleh mayoritas Hindu.. Oleh karena itu, Pakistan merupakan produk dari sebuah pandangan fundamentalis terhadap Islam.

Di dalam Oxford Advanced Learner’s dictionary, fundamentalisme diartikan sebagai “the practice of following very strictly the basic rules and teachings of any religion.”[8] Sedangkan Leonard Binder mendefinisikan fundamentalisme sebagai “an ideological dimension of the movement to restrict the power of the state.”[9] Fundamentalisme agama ini kemudian menjadi sumber konflik berkepanjangan dan kompleks yang terjadi hingga saat ini, karena berbenturan dengan primordialisme yang ternyata eksis pada masing-masing etnik yang ada.

Primordialisme etnik ini muncul sejak awal tercapainya cita-cita bersama lahirnya Pakistan. Hal ini tampak pada pemerintahan yang didominasi oleh etnik Punjab, padahal secara kuantitas Baloch adalah etnik mayoritas. Masyarakat Pakistan terbagi ke dalam beberapa kelompok entis yaitu Baloch 54.7 %, Pashtun 29.0%[10], dan selebihnya adalah Punjab, Kashmir, Afghan dan Sindh yang masing-masing terkonsentrasi pada salah satu dari empat provinsi di Pakistan, yaitu: Balochistan (Baloch),North-West Frontier Province (Pashtun), Punjab (Punjab), dan Sindh (Shind). Pembagian ke dalam empat provinsi itu pun didasarkan pada konsentrasi etnis-etnis mayoritas.

Fundamentalisme dan primordialisme inilah yang menjadi akar semua konflik internal Pakistan baik yang bermotif agama maupun etnis yang sering kali berkembang pada konflik politik maupun ekonomi. Di satu sisi, fundamentalisme yang dijadikan sebagai kerangka dasar pemahaman Islam melahirkan nasionalime Pakistan. Ini berarti bahwa identitas nasional negara tersebut adalah Islam. Di sisi lain, primordialisme juga merupakan kerangka dasar yang tidak kurang signifikannya bagi rakyat Pakistan dalam memahami Islam itu sendiri.

Pada masing-masing etnik yang ada, kadar signifikansi kedua paradigma ini berbeda-beda. Satu kelompok etnik dapat memiliki loyalitas kuat terhadap Islam, namun tetap berkelindan dengan primordialisme etniknya. Sedangkan satu kelompok etnik yang lain lebih menonjolkan prinsip-prinsip dan identitas etnisnya dari pada agamanya (Islam). Hal ini menyebabkan perbedaan tajam memahami politik. Kelompok yang pertama akan memahami politik sebagai sub-sistem dari agama sehingga pemerintahan harus didasarkan pada konsep-konsep dan mekanisme-mekanisme politik yang ada dalam Islam (Al Quran dan Hadits). Sedangkan kelompok yang kedua akan memandang bahwa politik/pemerintahan adalah wilayah kehidupan  yang terpisah atau harus dipisahkan dari agama yang merupakan wilayah privat masing-masing individu. Oleh karena itu fungsi Islam sebagai agama adalah sebagai landasan moral bagi masing-masing individu dalam menjalankan politik.

Perbedaan mendasar antara kedua kelompok ini menyebabkan terjadinya tarik-ulur kekuasaan antara kedua kelompok tersebut. Tidak jarang perselisihan ini menyebabkan konflik berdarah yang memakan korban jiwa puluhan bahkan ratusan. Kelompok pertama secara etnis banyak yang berasal dari etnik Pastun dan Punjab, dan secara politis diwakili oleh Muttahida Majlis -e- Amal (MMA) yang merupkan gabungan dari partai-partai Islam. Sedangkan kelompok yang kedua banyak berasal dari etnik Baloch dan Sindh dan secara politik diwakili oleh partai seperti Partai Rakyat Pakistan/Pakistan Peoples Party (PPP) dan Partai Nasionalis Awami (ANP).

Dari dikotomi tersebut, walaupun sifatnya general dan relatif, dapat dipahami bahwa nasionalisme Islam yang merupakan identitas nasional karena mendasari lahirnya negara tersebut masih menjadi bahan perdebatan di dalam elemen-elemen masyarakatnya sendiri. Perdebatan tersebut seputar bagaimana Islam diimplementasikan dalam konteks negara. Ini menunjukkan bahwa Pakistan hingga kini masih menjalani tahap pembentukan identitas nasionalnya.

C.   Peace Building

Benturan antara fundamentalisme (Islam) dan primordialisme (etmik) seperti yang dijelaskan di atas merupakan esensi dari konflik Balochistan yang berlangsung hingga saat ini. Konflik ini tidak akan berakhir sebelum ditemukan titik temu/persamaan antara kedua bangunan paradigma tersebut.

Islam dianut oleh mayoritas penduduk Balochistan sejak masa kepemimpinan imperium Islam dipengan oleh Khalifah Umar (Umar bin Khattab)[11] Akan tetapi mereka tidak terlalu berantusias dalam menggali nilai-nilai keimanan baru ini, sehingga Islam bagi mereka pada saat itu hanyalah  nama/identitas, sedangkan mereka tidak begitu taat dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam yang sesunguhnya.[12] Etnisitas mereka sebagai Baloch lebih melekat dari pada Islam. Dalam arti bahwa tingkat religiusitas etnik Baloch lebih rendah jika dibandingkan dengan etnik-etnik lain di Pakistan.

Loyalitas rakyat Balochistan terhadap etnisnya lebih besar daripada kepada agamanya (Islam). Faktor ini yang membuatnya menolak untuk dimasukkan ke dalam wilayah Pakistan saat negara itu lahir. Saat itu Balochistan merupakan sebuah kerajaan Khan of Kalat (Kalat State) yang berada di ujung barat laut anak benua India  yang berbatasan langsung dengan Iran dan Afghanistan. Saat Pakistan berdiri dan memasukkan Khan of Kalat ke dalam wilayahnya, para pemimpin Kalat melakukan perlawanan. Akan tetapi perlawanan mereka dapat dipatahkan pada tahun 1954.[13] Perlawanan-perlawanan bersenjata terus berlangsung namun sifatnya sporadis dan gerilnya.

Faktor rendahnya religiusitas etnik Baloch juga yang menjadi alasan bagi perlakuan diskriminatif pemerintah pusat terhadap mereka. Hal ini terlihat saat Islam kembali dijadikan alat politik bagi kepentingan pemereintah pada masa pemerintahan Presiden Zia’ul Haq (1977-1988). Pada saat itu, Zia memberikan perlakuan istimewa terhadap penduduk Balochistan yang berasal dari etnik Pastun, karena mereka adalah orang-orang yang memiliki loyalitas tinggi terhadap Islam. Mereka dijadikan alat pemerintah pusat untuk bersama-sama dengan militer membantu perjuangan Taliban dalam menghadapi penjajahan Uni Soviet terhadap Afghanistan. Sementara penduduk dari etnik Baloch tetap diperlakukan secara diskriminatif.

Pada saat yang sama, pemerintah pusat melakukan “islamisasi” Balochistan dengan membangun ribuan madrasah untuk mendidik para mujahidin. Sejak pemerintahan Zia hingga sekarang, anggaran untuk Departemen Agama yang secara langsung mendanai sekolah-sekolah agama setiap tahunnya adalah sekitar 200 juta dolar AS, padahal anggaran untuk Departemen Pendidikan hanya 3 juta dolar AS.[14]

Pada perkembangan selanjutnya, konflik antara Balochistan dengan pemerintah pusat menyebar ke wilayah lain yaitu politik, ekonomi, budaya hingga HAM. Perluasan ranah konflik selalu terjadi pada setiap konflik separatis saat konflik berlangsung dalam jangka yang cukup panjang, karena perbedaan konflik akibat perdaan ideologi dengan pemerintah akan cenderung dihadapi dengan cara-cara represif dengan kekuatan militer atau dengan perlakuan diskriminatif.

Saat konflik telah mencapai tahapan tersebut di atas, maka proses peace building harus dilakukan dengan melingkupi wilayah normatif dan pragmatis dari sebab-sebab konflik tersebut. Pemenuhan tuntutan rakyat dan pemimpin Balochistan untuk mendapatkan hak-hak politik dan ekonominya harus pula diikuti dengan pemenuhan terhadap tuntutan normatif mereka untuk tidak menjadikan Islam sebagai formalitas kenegaraan. Mereka lebih berkenan untuk menjadikan Islam sebagai nilai moral kehidupan, bukan sebagai nilai formal yang dipaksakan.

Seorang pemimpin Baloch pernah mengatakan,” there is no such thing as a Muslim nation on the face of the globe. If the mere fact that we are Muslims requires us to join Pakistan , then Afghanistan and Iran, both Islamic countries , should also amalgamate with Pakistan.”[15]

Cecep Zakarias El Bilad


[1] Lihat Kompas, 20 Juni 2009.

[2] Frederic Grare, “Pakistan: The resurgence of Baloch nationalism”, Carnegie Papers, Carnegie Endowment for International Peace, no. 65, January 2006. Hlm. 4-5.

[3] http://www.greenleft.org.au/2006/693/35987. Diakses pada 12 Mei 2009.

[4] http://www.balochwarna.com/sandukh/pdf/Brief7finalised1.pdf. Diakses pada 12 Mei 2009.

[5] http://www.southasiaanalysis.org/papers13/paper1220.html. Diakses pada 12 Mei 2009.

[6] http://asiacalling.kbr68h.com/index.php/archives/1921. Diakses pada 27 Juni 2009.

[7] Lihat Tsygankov, Andrei P. (2001). Pathways After Empire: National Identity and Foreign Economic Policy in the Post-Soviet World. Lanham: Rowman & Littlefield Publishers. Hal,15.

[8] Oxford Advanced Learner’s dictionary, Sixth Edition, (2000), New York: Oxford University Press. Hal, 547.

[9] Bassam Tibbi. (2000), Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru (Yogyakarta: Tiara Wacana), Hal. 207.

[10]Sensus1998,http://www.statpak.ov.pk/depts/.pc/pco/statistics/other_tables/pop_by_mother_tongue.pdf /.

[11] Janmahmad  dalam The Baloch Cultural Heritage. Dikutip oleh Malik Siraj Akbar dalam http://www.thebaluch.com/030608_article.php?id=7675. Diakses tanggal 15 Juni 2009.

[12] Ibid.

[13] Lihat http://www.greenleft.org.au/2006/693/35987.

[14] http://www.thebaluch.com/030608_article.php?id=7675. Diakses pada 15 Mei 2009.

[15] Ibid.



July 9, 2009, 12:39 am
Filed under: Essay | Tags:

Upaya Pembangunan yang Ramah

Lingkungan di Indonesia

Oleh.

Cecep Zakarias El Bilad

Abstract: Recently natural disaster has become the most occurring phenomenon in the the world. There are always victims in that like flood, landslide and aridity.  This indicates a disorder between humanity and the cosmos that constitutes a system of equilibrium. Natural disaster is an abnormality that means something has go wrong in the nature. It is necessary to take fundamental integrated steps by people and the government to address such invironmental problems.

Keywords: pembangunan, perubahan, kesadaran ekologis, alam, pola hubungan, bencana, upaya.

  1. A. Pendahuluan

Salah satu permasalahan serius dan paling mendasar yang saat ini dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah kerusakan lingkungan. Permasalahan ini dikatakan serius karena level kerusakannya telah sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan kehidupan di bumi termasuk kehidupan manusia sendiri.

Permasalahan ini juga dianggap mendasar karena menyangkut pola pembangunan dan polah hidup masyarakat. Industrialisasi menimbulkan dampak kerusakan lingkungan di banyak wilayah di Indonesia. Berbagai aktifitas kehidupan masyarakat pun sering kali menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem yang ada baik itu dilakukan secara sadar maupun tanpa sadar.  Pola kehidupan merupakan proyeksi pola pikir setiap orang mengenai lingkungannya.

Permasalahan kerusakan lingkungan menempatkan dua aktor dalam posisi yang berbeda secara diametral, yaitu manusia dan alam. Manusia merupakan entitas hidup yang eksistensinya tidak bisa lepas dari alam. Manusia hidup di atas bumi. Ketika mati pun manusia akan dikubur dan akan terurai menjadi tanah (menyatu dengan alam). Akan tetapi dalam persoalan interaksi dengan lingkungannya (alam) baik yang hidup maupun yang tidak hidup, manusia selalu memposisikan diri sebagai pemilik, dan alam adalah sebagai yang dimiliki.

Dalam posisi demikian, manusia tentu dapat memperlakukan alam sebagaimana yang dikehendakinya. Hampir semua daratan di muka bumi ini telah dimiliki oleh manusia. Tanah-tanah yang ada telah dipetak-petakkan untuk dijadikan hak milik manusia dengan kadar luas masing-masing. Manusia kemudian mengelola tanah miliknya itu untuk hal-hal yang membawa keuntungan baginya, misalnya membangun rumah, pabrik, toko, perusahaan, tempat wisata, perkebunan, pertambangan, dan lain sebagainya. Dalam posisi sebagai yang dimiliki, alam (non-human) berada dalam posisi marginal. Terlebih lagi alam adalah entitas kebendaan yang evolusioner (gerak dan perubahannya lamban). Sedangkan manusia adalah entitas kebendaan yang hidup dan agresif.

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa akar permasalahan yang menyebabkan kerusakan lingkungan yang terjadi sekarang ini teradapat pada pola interaksi manusia dengan alam sekitarnya. Manusia menempatkan dirinya sebagai superior atas alam. Hak eksploitasi adalah mutlak dimiliki oleh manusia atas alam baik tanah, air maupun udara.

Kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia adalah akibat dari berbagai aktifitas industri, penebangan liar/penggundulan hutan, pembanguan pemukiman dan gedung-gedung, inefisiensi penggunaan peralatan dan bahan bakar beremisi, dan lain sebagainya. Sebagai konsekuensinya, terjadi berbagai bencana di daerah-daerah di Indonesia seperti banjir, tanahlongsor, kekeringan dan kebakaran hutan. Bencana-bencana tersebut memakan kerugian yang sangat besar baik nyawa maupun harta benda.

Atas dasar tersebut, maka manusia (rakyat Indonesia) perlu meredefinisikan untuk kemudian mereposisikan dirinya atas alam semesta agar terjadi koeksistensi antara keduanya. Dalam konteks negara, hasil pendefinisian ulang ini diwujudkan melalui perumusan dan pelaksanaan pola pembangunan yang ramah lingkungan.

Tulisan ini bermanfaat dapat memberikan beberapa manfaat: pertama, untuk membuka  pemahaman baru bagi pembaca tentang persoalan lingkungan. Kedua, dapat dijadikan landasan untuk mengembangkan gagasan-gagasan baru tentang isu ekologi untuk kemudian mengadakan penelitian lebih lanjut. Ketiga, menambah referensi tentang pemikiran ekologis.

  1. B. Bencana Alam di Indonesia

Bencana alam sudah seperti menjadi rutinitas dalam kehidupan manusia khususnya di Indonesia. Setiap musim yang ada selalu mendatangkan bencana yang mengakibatkan kerugian bagi manusia baik nyawa maupun harta benda. Pada musim hujan bencana yang sering terjadi adalah banjir dan tanah longsor. Sedangkan pada musim kemarau bencana yang rutin terjadi adalah kekeringan dan kebakaran hutan. perbuatan Di samping itu ada juga beberapa bencana alam yang sering terjadi namun tidak terkait langsung dengan dua musim tersebut di antaranya gempabumi, gunung meletus, tsunami, angin puting beliung dan penyakit seperti malaria, demam berdarah dan flu burung.

Sumber : BMG

Berikut ini adalah pembahasan tentang bencana-bencana yang sering terjadi di Indonesia:

  1. Banjir

Banjir adalah peristiwa terbenamnya daratan yang biasanya kering karena peningkatan volume air. Banjir terjadi karena peluapan air yang berlebihan di suatu tempat akibat hujan besar, peluapan air sungai, waduk atau danau, atau pecahnya bendungan sungai, waduk atau danau.

Luapan tersebut terjadi karena air hujan tidak terserap dan terdistribusikan dengan baik. Dalam kondisi normal air hujan yang turun ke bumi akan terserap ke dalam tanah. Penyerapan ini dibantu oleh akar-akar tanaman untuk disimpan di dalam tanah dan untuk kebutuhan metabolisme tanaman itu sendiri. Selebihnya air hujan tertampung di laut dan di sungai-sungai yang akhirnya akan mengalir ke laut. Air-air yang ada di dalam tanah, sungai dan laut tersebut kemudian akan menguap ke udara dengan bantuan sinarmatahari dan menjadi awan yang akhirnya akan berproses kembali menjadi hujan. Begitulah seterusnya siklus air di bumi.

Banjir terjadi ketika siklus air tersebut tidak berjalan dengan normal. satu atau beberapa tahapan di dalam siklus tersebut tidak berjalan dengan semestinya.  Air hujan yang tidak meresap ke dalam tanah sebagaimana mestinya dapat menyebabkan luapan. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya jumlah tumbuhan pada satu daerah tertentu akibat pembalakan liar, alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan, pertambangan atau perumahan yang melebihi batas kewajaran.

Bencana yang diakibatkan oleh aktifitas-aktifitas tersebut di atas biasanya adalah banjir bandang pada daerah-daerah yang lebih rendah. Sebagai contoh, pada tahun 2008 di seluruh wilayah Indonesia terjadi 401 kali bencana banjir dan 36 kali banjir bandang.[1] Pada bulan Juni tahun 2006 terjadi banjir besar di Kalimantan Selatan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat,[2] penyebab utama banjir tersebut adalah luasnya lahan kritis di Kalimantan Selatan.

Berikut adalah data luas hutan dan lahan kritis di Kalimantan Selatan:

No

Kabupaten/Kota

Luas (ha)

Lahan Kritis

(ha)

Lahan Sangat

Kritis (ha)

Total Lahan

kritis (ha)

Lahan

Kritis

(%)

1

Kotabaru

942.273

100.343,50

0,00

100.343,50

10,65

2

Tanah Bumbu

506.696

50.517,24

0,00

50.517,24

9,97

3

Tanah Laut

372.930

49.248,64

0,00

49.248,64

13,21

4.

Banjar

471.097

96.907,23

24.144,80

121.051,98

25,70

5.

Tabalong

359.950

41.644

0,00

41.644,00

11,57

6.

HSU

95.125

0,00

0,00

0,00

0,00

7.

Balangan

181.975

36.215,03

0,00

36.215,03

19,90

8.

HST

147.200

13.744,79

0,00

13.744,79

9,34

9.

Tapin

217.495

60.134,75

4.924,86

65.059,61

29,91

10.

HSS

180.494

17.602,85

26.835,40

44.438,23

24,62

11.

Banjarbaru

32.883

7.522,00

0,00

7.522,00

22,88

12

Batola

237.622

26.198,00

0,00

26.198,00

11,03

13

Banjarmasin

7.267

0,00

0,00

0,00

0,00

Sumber : Dinas Kehutanan Prop. Kalimantan Selatan (2004)

Peningkatan jumlah dan luas lahan kritis di Kalimantan Selatan tersebut disebabkan oleh meningkatnya jumlah alih fungsi hutan untuk perkebunan dan area tambang batu bara. Berdasarkan data Dinas Perkebunan tahun 2005, kawasan perkebunan terluas ada di Kabupaten Kotabaru dengan luas mencapai 108.000 ha atau 62,4% dari luas yang telah tergarap, Tanah Bumbu 43.000 atau 24,9%, Tanah Laut 33.000 atau 19,1%, Tabalong 5.000 ha atau 2,9% dan Balangan 2.200 ha atau 1,3% (B.Post, 2006b). Dari data tersebut terlihat jelas bahwa di kabupaten Kotabaru, Tanah Bumbu dan Tanah Laut yang hingga kini banyak melakukan alih fungsi lahan dengan pembukaan areal untuk perkebunan kelapa sawit tahun 2006 ini terjadi banjir. Alih fungsi lahan besar-besaran untuk perkebunan sangat berpotensi penyebab terjadinya banjir.

  1. Kekeringan

Sebagaimana banjir, kekeringan adalah bencana yang rutin terhadi di Indonesia. Penyebab utama terjadinya kekeringan dan banjir adalah perubahan kawasan hutan di hulu-hilir air yang sebelumnya merupakan daerah resapan air menjadi lahan permukiman, industri, dan pertambangan atau bahkan gundul sama sekali. Akibatnya air hujan yang jatuh langsung mengalir ke sungai, bukan masuk ke dalam tanah. Berkurangnya daerah resapan air mengakibatkan pada musim kemarau aliran air dalam tanah berkurang, sehingga memengaruhi sistem sungai. Sedangkan pada musim hujan akan terjadi banjir karena kurangnya lahan peresap air.

Pada tahun ini banyak wilayah di Indonesia yang terancam kekeringan. Sebagai contoh, Pusat Informasi Bencana di Indonesia melaporkan sebanyak 36 desa di Kabupaten Temanggung rawan kekeringan pada musim kemaru tahun ini.[3] Di Provinsi Banten, daerah-daerah yang pada tahun ini teramcam bencana kekeringan adalah Kecamatan Cikeusik, Munjul, Angsana, Cibaliung, Sobang, Cimanggu, dan Sumur.[4] Selain dua wilayah itu masih banyak lagi wilayah-wilayah di Indonesia yang terancam kekeringan.

  1. 3. Tanah Longsor

Tanah longsor adalah suatu peristiwa geologi di mana terjadi pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah. Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar dari gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut kemiringan lereng, air, beban serta berat jenis tanah batuan.[5]

Ancaman tanah longsor biasanya terjadi pada bulan November, karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar, sehingga mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga-rongga dalam tanah, yang mengakibatkan terjadinya retakan dan rekahan permukaan tanah.

Tanah longsor juga merupakan bencana yang sering terjadi dan cukup mematikan. Pada awal tahun 2006 terjadi tanah longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, dan menewaskan 12 orang dan 200 orang hilang.[6] Tiga bulan yang lalu peristiwa serupa tanah longsor terjadi di Tangerang yaitu jebolnya sebuah danau buatan Situ Gintung yang menewaskan 58 orang. Jebolnya tanggul danau buatan ini disebabkan karena banyaknya pemukiman dan bangunan di sekitar danau yang seharusnya menjadi daerah yang steril dari bangunan dan pemukiman.

  1. C. Upaya Penyelamatan

Kerusakan lingkungan sebenarnya merupakan permasalahan mendasar tentang pola hubungan manusia dengan alam. Pola hubungan yang selama ini umum berlaku di masyarakat harus dikoreksi, karena menyebabkan berbagai permasalahan lingkungan yang merugikan masyarakat itu sendiri baik secara materi maupun non-materi.

Perubahan mendasar terhadap cara pandang manusia terhadap alam harus dilakukan. Perubahan ini sangat urgen untuk merubah pola perlakuan manusia atas alam. Manusia harus memiliki persepsi  yang lebih adil terhadap alam, sehingga tidak lagi mengelola alam secara over-eksploitatif. Manusia bukan merupakan supremasi di alam semesta ini. Walaupun memiliki kelebihan berupa akal yang menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia tetap memerlukan alam untuk kelangsungan hidupnya. Menurut Arne Naess (1972) dan George Seassions (1985) alam beserta dengan segala kekayaan dan varietas kehidupan di dalamnya memiliki nilai-nilai intrinsiknya masing-masing.[7]

Manusia adalah bagian dari varietas kehidupan yang membentuk alam. Semuanya memiliki hubungan dan saling bergantung satu sama lain.[8] Manusia dituntut untuk selalu menjaga keseimbangan alam karena hanya dengan keseimbangan normalitas alam akan terjaga. Dengan kata lain, bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan tidak akan terjadi jika alam berjalan dalam keseimbangan alamiahnya.

Sebagai upaya penyelamatan sekaligus preventif terhadap kerusakan alam yang lebih parah, persepsi baru terhadap alam seperti yang dijelaskan di atas harus dimiliki oleh setiap individu. Upaya yang bersifat kosmik dengan melibatkan setiap individu manusia ini merupakan langkah pertama penyelamatan.

Dalam struktur sosial, individu dapat dibedakan ke dalam dua kelompok secara fungsional, yaitu individu biasa dan individu elit. Individu biasa adalah individu yang berada pada kelas menengah ke bawah baik ekonomi, sosial maupun politiknya seperti guru, petani, pedagang dan buruh. Individu yang memiliki kesadaran ekologis pada kelas ini akan memberikan kontribusi terbatas dalam menjaga atau menyelamatkan lingkungan, misalnya hanya sekitar rumah, tempat kerja dan tetangga serta teman-temannya. Signifikansinya akan tampak ketika dilakukan secara massif.

Sedangkan individu elit adalah individu yang berada pada kelas sosial atas seperti presiden, menteri, pengusaha dan anggota parlemen. Individu yang memiliki kesadaran ekologis pada level ini akan memberikan dampak besar walaupun hanya seorang saja karena dia memiliki kekuasaan dalam struktur politik atau ekonomi.

Setelah persepsi baru tentang alam ini dimiliki oleh setiap individu, langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah menjadikan persepsi baru tersebut sebagai landasan untuk melakukan upaya penyelamatan lingkungan kerangka negara. Negara merupakan institusi dengan kedaulatan tertinggi dalam masyarakat pada suatu wilayah. Dengan posisi dan fungsinya, negara dapat membuat upaya-upaya penyelamatan lingkungan secara sistematis melalui program-program pembangunan yang ramah lingkungan maupun program-program khusus penyelamatan lingkungan.

Atas dasar pertimbangan ekologis, pembangunan negara tidak hanya sebatas berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga harus mempertimbangan aspek kelestarian lingkungan. Pembangunan ekonomi adalah yang memiliki andil besar dalam kerusakan lingkungan melalui berbagai aktifitas industri dan penggunaan produk-produknya. Pemerintah harus merelokasi kawasan industri. Pemerintah dapat membuat kawasan-kawasan khusus bagi industri sehingga terpisah dari pemukiman penduduk dan pemerintah akan lebih mudah mengontrolnya. Di samping itu, pemerintah juga menertibkan proses industri dengan cara membuat undang-undang atau peraturan pemerintah yang memberikan batasan dan kriteria tertentu agar proses industri tidak membahayakan ekosistem. Langkah ini sangat urgen untuk mengantisipasi atau mengurangi polusi yang ditimbulkan, untuk menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya serta menjamin keberlanjutan sumber bahan bakunya.

Tidak cukup hanya sebatas pengaturan proses industri, pemerintah juga harus mengontrol jumlah produk-produk tidak ramah lingkungan yang beredar di masyarakat seperti AC, kulkas CFC, kendaraan berbahan bakar minyak bumi dan lain-lain. Pemerintah secara bertahap harus mengganti produk-produk itu dengan produk-produk ramah lingkungan baik dari ekspor maupun impor. Inilah proses penyelamatan lingkungan yang dilakukan secara struktural, melalui kekuatan politik dan ekonomi negara.

Agar proses ini berjalan seimbang, diperlukan kesadaran ekologis masyarakat, yaitu kesadaran untuk mengurangi aktifitas-aktifitas keseharian yang berdampak negatif terhadap lingkungan seperti menebang pepohonan, menggunakan kendaraan bermotor yang beremisi, menggunakan listrik secara berlebihan dan lain sebagainya, dan melakukan upaya-upaya penjagaan dan penyelamatan kelestarian lingkungan secara sadar dari individu masing-masing. Masyarakat harus melakukan cara-cara alternatif sebagai pengganti kegiatan-kegiatan tersebut. Cara-cara alternatif ini bisa ditemukan melalui riset-riset yang dilakukan oleh lembaga-lembaga lingkungan baik dari swasta maupun pemerintah dan disosialisasikan melalui pendidikan baik formal maupun informal. Melalui pendidikan formal kesadaran ekologis dapat ditanamkan di sekolah-sekolah dasar dan perguruan tinggi melalui kurikulum serta penciptaan lingkungan sekolah yang ramah lingkungan. sedangkan melalui pendidikan informal kesadaran ini dapat ditanamkan melalui program-program penyuluhan, short course, pelatihan serta iklan-iklan di media massa.

  1. D. Kesimpulan

Kesadaran individual untuk melestarikan lingkungan yang dipadukan dengan upaya politik melalui sarana negara merupakan upaya integral untuk menyelamatkan lingkungan dan sumber daya yang terkandung di dalamnya. Ini adalah proses yang memerlukan waktu panjang dan upaya serius dari semua pihak. Penanaman kesadaran ekologis ini dapat ditempuh melalui jalur pendidikan. Secara formal proses ini bisa dilakukan di sekolah-sekolah dan universitas melalui kurikulum dan juga praktek keseharian di lembaga tersebut. Sedangkan secara informan bisa dilakukan melalu seminar, pelatihan dan penyuluhan yang dilakukan secara intens kepada seluruh komponen masyarakat.

Proses ini memerlukan keterlibatan semua pihak dalam masyarakat terutama civil society dan pemerintah sendiri. Namun semuanya kembali pada diri kita masing-masing untuk menentukan kapan proses panjang ini akan dimulai.

Setelah masing-masing individu memiliki kesadaran ekologis, maka langkah selanjutnya adalah menjadikan kesadaran ini sebagai landasan untuk membuat upaya penyelamatan lingkungan dari kerusakan dalam kerangka politik. Negara harus menerapkan kebijakan-kebijakan yang ramah lingkungan.

Kesadaran individual untuk melestarikan lingkungan yang dipadukan dengan upaya politik dalam konteks negara merupakan upaya integral untuk menyelamatkan lingkungan beserta sumber daya yang terkandung di dalamnya. Namun demikian, proses ini memerlukan waktu dan usaha serius oleh pemerintah dan segenap masyarakat Indonesia.

Malang, 24 Juni 2009.

  1. E. Daftar Pustaka

Buku

Frey, R. Scott (editor), The Environment and Society Reader, Allyn&Bacon, Boston, 2001.

Harper, Charles L., Environment and Society: Human Perspectives on Environmental Issues, Prentice-Hall, Inc., New Jersey, 2001.

Internet

http://www.cw.utwente.nl/theorieenoverzicht/Theory%20clusters/Organizational%20Communication/System_Theory.doc/

http://www.ppk-depkes.org/index.php?option=com_databencana&Itemid=163

http://lemlit.unlam.ac.id/wp-content/uploads/2008/02/yudi-firmanul-a.pdf

http://mediacenter.or.id/headline/tahun/2009/bulan/05/tanggal/22/1669/36-desa-rawan-kekeringan.html

http://www.koranbanten.com/2009/03/23/pandeglang-selatan-terancam-kekeringan/

http://www.esdm.go.id/berita/geologi/42-geologi/1162-faktor-faktor-penyebab-tanah-longsor.html

http://www.voanews.com/indonesian/archive/2006-01/2006-01-04-voa8.cfm?moddate=2006-01-04

http://geo.ugm.ac.id/archives/28


[1] http://www.ppk-depkes.org/index.php?option=com_databencana&Itemid=163

[2] http://lemlit.unlam.ac.id/wp-content/uploads/2008/02/yudi-firmanul-a.pdf

[3] http://mediacenter.or.id/headline/tahun/2009/bulan/05/tanggal/22/1669/36-desa-rawan-kekeringan.html

[4] http://www.koranbanten.com/2009/03/23/pandeglang-selatan-terancam-kekeringan/

[5] http://www.esdm.go.id/berita/geologi/42-geologi/1162-faktor-faktor-penyebab-tanah-longsor.html

[6] http://www.voanews.com/indonesian/archive/2006-01/2006-01-04-voa8.cfm?moddate=2006-01-04

[7] Charles L. Harper, Environment and Society: Human Perspectives on Environmental Issues, Prentice-Hall,Inc., New Jersey, 2001. Hal, 12.

[8] R. Scott Frey (editor), The Environment and Society Reader, Allyn&Bacon, Boston, 2001. Hal,229.



Peradaban Islam antara Realitas dan Teks Suci
July 9, 2009, 12:34 am
Filed under: Essay | Tags:

Peradaban Islam antara Realitas

dan Teks Suci

oleh.

Cecep Zakarias El Bilad

Abstract: Islam is the religion of civilization. Historically, it once becomed the base of the most shining civilization of humanbeings, namely the Islamic civilization. Such a civilization was propped up by its progress of science and technology based on the holy Al Quran. But, it all has gone. No more the real Islamic civilization. However, the Quran exists forever, and so does the hope of the rebirth of Islamic civilization.

Keywords: peradaban, tradisi keilmuan, kolonialisasi, kemunduran, kekuasaan.

Ilmu adalah ruh peradaban. Peradaban Islam dibangun di atas fondasi keilmuan sehingga mampu bertahan sampai sekitar lima belas abad. Bahkan warisan keilmuannya menjadi inspirasi bagi bangkitnya peradaban Barat. Ketika tradisi keilmuan ini lemah, maka bangunan peradaban Islam pun akan rapuh. Inilah terjadi pada nasib peradaban Islam.

Umat Islam tidak selayaknya tertinggal dari bangsa/peradaban lain sementara kitab sucinya merupakan sumber inspirasi keilmuan yang abadi. Jika al Quran benar-benar difahami dengan sungguh-sungguh dan dilaksanakan dengan baik maka fakta kemunduran peradaban Islam tidak akan terjadi, atau akan menjadi pendorong bagi bangkinya kembali peradaban Islam. Hal ini disebabkan karena al Quran mengandung banyak sekali ayat-ayat yang mengisyaratkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Terlepas dari fakta-fakta historis yang ada, menjauhnya pemahaman umat Islam terhadap ayat-ayat al Quran dari kebenaran (karena faktor-faktor pragmatis) ,merupakan sebab runtuhnya dan tertinggalnya peradaban Islam. Maka tulisan singkat ini akan menelusuri secara kritis faktor-faktor  historis yang menyebabkan kemunduran peradaban Islam. Di akhir tulisan akan dipaparkan ayat-ayat al Quran tentang ilmu pengetahuan untuk menguatkan betapa kontradiksinya realitas peradaban Islam dengan teks yang menjadi rujukan sucinya.

  1. A. Realitas Peradaban Islam Kontemporer

A.1. Sekilas Tentang Kolonialisme atas Umat Islam

Prestasi terbesar umat manusia yang hingga saat ini belum tergantikan adalah  lahirnya “negara”. Negara merupakan sebuah konsep untuk mempertemukan kepentingan-kepentingan umat manusia yang hidup dalam suatu wilayah  tertentu sehingga keteraturan dan kedamaian tercipta. Saat ini terdapat ratusan jumlah negara yang ada di muka bumi ini.

Konsep ini pertama kali lahir di daratan Eropa sebagai hasil dari Perjanjian Westphalia atau sering juga disebut dengan Perjanjian Münster dan Osnabrück. Perjanjian merupakan rangkaian perjanjian yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun (yang dalam sejarah kekristenan Eropa  juga dianggap sebagai perang antara Katolik & Protestan) dan secara resmi mengakui Republik Belanda dan Konfederasi Swiss. Perjanjian ini ditandatangani pada 24 Oktober 1648 antara Kaisar Romawi Suci Ferdinand III, para pangeran Jerman lainnya, perwakilan dari Belanda, Perancis, dan Swedia.

Sejak perjanjian itu ditandatangani, daratan Eropa yang semula dikuasai oleh kerajaan-kerajaan satu demi satu berubah menjadi wilayah-wilayah dengan perbatasan dan hirarki kekuasaan yang jelas. Pada tahapan selanjutnya wilayah-wilayah berdaulat ini (negara) melakukan kolonialisasi ke daratan-daratan lain selain Eropa. Melalui kolonialisasi yang berlangsung selama beratus-ratus tahun inilah nilai-nilai dan konsep-konsep politik mereka menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke wilayah kekuasaan umat Islam di Asia, Afrika dan sebagian wilayah Eropa sendiri.

Kolonialisasi Eropa ke wilayah-wilayah umat Islam ini menjadi faktor eksternal yang menyebabkan keruntuhan peradaban Islam terutama di Timur Tengah yang merupakan yang menjadi pusatnya. Selama masa kolonialisme itu, terjadi transmisi budaya Eropa baik norma, agama, gaya hidup, ilmu pengetahuan maupun sistem politiknya ke dalam masyarakat Islam.

Transmisi budaya adalah proses yang alamiah pada setiap dua pertemuan dua masyarakat yang berbeda asal dan kebudayaan. Dalam proses tersebut, budaya kelompok masyarakat  yang unggul secara ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi biasanya akan menjadi budaya panutan bagi kelompok masyarakat lainnya karena dianggap maju atau beradab. Hal inilah yang terjadi pada masyarakat Islam selama masa penjajahan Eropa. Masyarakat Islam ketika itu menganggap peradaban Eropa adalah peradaban modern sehingga segala sesuatunya dijadikan rujukan atau standar seperti dalam hal berpakaian, bergaul hingga berpolitik.

Konsep Negara Republik menjadi bentuk pemerintahan favorit bagi  umat Islam yang wilayahnya telah terbebas dari kolonialisme. Bentuk republik dianggap sebagai bentuk pemrintahan yang lebih baik oleh sebagian besar umat Islam dibandingkan dengan bentuk monarkhi. Pengalaman ratusan tahun dipimpin oleh para penguasa monarki absolut dari zaman Abbasiyah hingga Utsmaniyah menimbulkan trauma di kalangan umat Islam, karena bentuk pemerintahan monarki absolut merupakan legalitas atas diktatorisme dan anarkisme penguasa atas rakyat. Sedangkan dalam bentuk negara republik, rakyat dapat mengatur dirinya sendiri melalui perwakilan dengan mekanisme yang proporsional dan transparan.

Tahun 1945 adalah masa berakhirnya kolonialisme di hampir seluruh belahan dunia. Umat Islam di seluruh dunia termasuk di Indonesia akhirnya dapat menikmati kebebasan sebagai masyarkat. Umat Islam kemudian mengelompokkan diri ke dalam bentuk negara-negara merdeka. Demokratisasi yang merupakan warisan dari para penjajahnya menjadi landasan sebagian besar mereka dalam pembentukan negara.

A.2. Umat Islam Pasca-Kolonialisme

Mengelompoknya umat Islam ke dalam negara-negara baru yang lahir pasca-kolonialisme menjadi permasalahan baru bagi umat Islam sendiri. Umat Islam pada satu negara dituntut untuk membangun  identitas baru untuk membedakannya dari kelompok umat Islam di negara-negara lain. Loyalitas mereka akhirnya diberikan kepada identitas-identitas baru mereka di luar identitas agama misalnya bangsa, suku atau ideologi.

Lahirnya negara-negara tersebut akhirnya semakin memperparah perpecahan di kalangan umat Islam. Egoisme kenegaraan kemudian menggejala di antara mereka sehingga berbagai permasalahan umat harus dihadapi oleh pemerintahannya masing-masing.

Di samping masalah identitas nasional, negara-negara muslim (negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim/negara-negara bentukan umat Islam pascakolonialisme) harus menghadapi permasalahan-permasalahan mendasar yang umum dimiliki oleh negara-negara post-kolonial, yaitu kemiskinan dan kebodohan. Hingga saat ini mayoritas negara-negara muslim secara ekonomi adalah negara-negara berkembang, dan hanya sebagian kecil saja yang merupakan negara kaya seperti Arab Saudi, Kwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab dan Brunei Darussalam. Secara politik tidak satu pun negara-negara muslim yang memainkan peranan vital dalam kancah politik global. Begitu juga dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi tidak satu pun dari negara-negara itu yang menyamai kemajuan negara-negara Uni  Eropa, Amerika Serikat dan Jepang.

Dalam semua bidang negara-negara muslim berada di bawah negara-negara yang notabene dahulunya adalah musuh Islam. Ini merupakan realitas kemunduran peradaban Islam. Untuk merubah keadaan ini tentu saja diperlukan introspeksi mendalam dalam diri umat Islam sendiri untuk kemudian dicari solusinya secara bersama-sama.

  1. B. Faktor-Faktor Kemunduran Peradaban Islam

Islam adalah agama ilmu pengetahuan. Islam tidak memisahkan ilmu pengetahuan dengan agama dalam pemaknaan umum, yaitu urusan individu secara vertikal dengan Tuhannya. Peradaban yang maju adalah yang memiliki kemajuan ilmu pengetahuan. Kejayaan Islam pada abad pertengahan adalah kejayaan keilmuannya. Kemunduran Islam pun adalah kemunduran keilmuannya.

Kesadaran intelektual umat Islam muncul pada abad ke-8 dengan dimulainya aktifitas penerjemahan warisan keilmuan Yunani dan Persia. Kesadaran ini muncul setelah tercipta stabilitas ekonomi masyarakat sehubungan dengan luasnya kekuasaan Islam waktu itu di bawah kekuasaan dinasti Umayyah. Proyek penerjemahan ini dilakukan pada masa pemerintahan Al Makmun (813 –833 M). Setelah masa penerjemahan ini kemudian dilanjutkan dengan masa kreatifitas pengembangan ilmu pengtahuan hingga beberapa abad berikutnya pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah.

Runtuhnya Dinasti Abbasiyah pada 1517 yang diakibatkan terutama oleh serangan Bangsa Mongol merupakan awal runtuhnya peradaban Islam, karena setelah itu tradisi keilmuan terus mengalami kemunduran. Walaupun setelah itu berdiri Dinasti Utsmani yang memiliki kekuatan militer yang sangat tangguh, namun tradisi keilmuan pada masa itu terus mengalami kemunduran.

Secara garis besar, ada beberapa faktor penyebab kemunduran keilmuan Islam:

  1. Konflik Politik Kekuasaan

Sejarah politik Islam adalah sejarah konflik kekuasaan. Di satu sisi umat Islam perkembangan pesat dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi. Di sisi lain sebenarnya perkembangan itu selalu dibayangi oleh konflik kekuasaan para penguasanya. Sering kali yang menjadi penguasa (khalifah) adalah orang-orang yang tidak kompeten baik secara keilmuan, keagamaan maupun moral. Hanya beberapa saja para khalifah yang memiliki moral dan religiusitas unggul serta memiliki perhatian besar pada ilmu pengetahuan.

Perpecahan politik semakin parah setelah runtuhnya Abbasiyah. Sejak itu dunia Islam terpecah-pecah ke dalam beberapa kekuasaan dalam waktu yang bersamaan: Fatimiyah (909/969-1177) di Mesir, Buwaihi (945-1055) di Iraq dan Iran, Saljuk (1055-1104) di Iraq dan Iran, Ayyubiyah (1169-1260) di Mesir dan Syiria, Mamluk (1250-1517) di Mesir dan Syiria, Utsmani (1280/1389-1922), Safawi (1501-1722) di Iran, Mogul (1525/1556-1707/1857) di India, Qajar (1779-1924) di Iran, dan lain sebagainya. Perpecahan politik tersebut berpengaruh negatif terhadap perekembangan tradisi keilmuan dalam tubuh umat Islam. Kesejahteraan para guru/ulama dan proses pendidikan tidak lagi menjadi perhatian khusus penguasa. Tradisi keilmuan akhirnya selama berabad-abad berjalan tanpa dukungan dana yang memadai sehingga mengurangi berbagai aktifitas keilmuan yang produktif seperti eksperimen dan pembangunan perpustakaan.

  1. Kemiskinan

Konflik-konflik politik di antara para penguasa membuat kesejahteraan masyarakat semakin terbengkalai. Kekayaan kerajaan dihabiskan untuk berperang antarsama kerajaan Islam. Di samping itu banyak diantara para penguasa itu yang korup dan suka berfoya-foya.

Kondisi masyarakat yang memprihatinkan akibat ulah para elit penguasa yang korup membuat perhatian masyarakat terhadap wawasan keilmuan semakin merosot. Masyarakat masih dihadapkan pada pemenuhan kebutuhan dasar hidupnya akan sandang, pangan dan papan. Ditambah lagi dengan kepemimpinan yang diktator oleh para khalifah/imam yang amoral itu. Kondisi semacam ini terus berlangsung hingga masa keruntuhan kerajaan-kerajaan Islam oleh kekuatan Eropa yang telah bangkit.

  1. Perang Pemikiran

Ironi yang muncul dalam menelusuri kejayaan ilmu pengetahuan Islam adalah bahwa para penentang kemajuan itu adalah datang dari dalam kalangan umat Islam sendiri. Puncak kejayaan ilmu pengetahuan dan teknologi umat Islam tercapai pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada era dinasti ini, Muktazilah menjadi paham teologis resmi negara terutama pada era kekuasaan Al-Makmun, al Mutashim dan al Wasiq.

Paham Muktazilah memberikan porsi besar terhadap akal dalam memahami ayat-ayat Al Quran. Kemudian paham ini mendapat tentangan keras dari sebagian ulama yang kemudian terhimpun dalam paham Asy’ariyah dan Mathuridiyah yang menempatkan akal pada posisi kedua setelah wahyu (teks dalil). Maka jika dikatakan bahwa keruntuhan Bani Abbasiyah adalah keruntuhan peradaban Islam, itu adalah wajar karena sejak itu yang Muktazilah tidak lagi menjadi paham resmi negara tetapi digantikan dengan paham puritan Asy’ariah dan Mathuridiyah.

Perbedaan paham teologis di antara para ulama dan ilmuan Islam terus berlanjut setelah itu bahkan hingga sekarang. Bahkan sejumlah ulama dan ilmuan Islam dikafirkan atau dianggap sesat oleh para ulama lain, seperti Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusd, Nasiruddin Tusi, al Razi, dan lain sebagainya. Begitulah selanjutnya umat Islam terjatuh ke dalam kejumudan pemikiran.

  1. Faktor Eksternal

Paling tidak ada dua faktor eksternal yang andil dalam proses peruntuhan peradaban Islam, yaitu:

  • Serbuan pasukan Mongolia di bawah pimpinan Hulagu Khan ke jantung peradaban Islam ketika itu, Baghdad. Pasukan Mongol tidak hanya membunuh Khalifah Al Mu’tashim beserta para pembesar kerajaan, tetapi juga membunuh para penduduk Baghdad dan menghancurkan situs-situs keilmuan yang ada di kota itu. Sejak peristiwa ini umat Islam mulai kehilangan kekuatannya, baik militer maupun keilmuannya.
  • Rongrongan dari Eropa Kristen. Rongrongan Kristen Eropa terhadap peradaban Islam dilakukan secara militer dan keilmuan serta kebudayaan. Secara militer terjadi selama dua ratus tahun Perang Salib. Selama Perang Salib terjadi interaksi intens bangsa Eropa dengan dunia Islam. Dari situ transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dari dunia Islam ke Eropa terjadi  hingga akhirnya melahirkan pencerahan (Renaissance) di Eropa beberapa abad berikutnya. Pada masa renaissance di Eropa dunia Islam telah memasuki masa-masa kemundurannya. Oleh karena itu, dengan perlahan namun pasti peradaban Eropa semakin mengungguli peradaban Islam hingga sekarang.

  1. C. Ayat-Ayat Pengetahuan

Berikut ini adalah sebagian kecil ayat-ayat dalam al Quran yang dapat dijadikan landasan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi:

  1. Malam dan siang.

žcÎ) ’Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@øŠ©9$# ͑$pk¨]9$#ur ;M»tƒUy ’Í<‘rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (QS.3:190)

Dalam potongan ayat tersebut Allah SWT mengajak manusia untuk bersikap kritis terhadap alam semesta yang menjadi tempat tinggalnya. Ayat tersebut menjelaskan bahwa alam semesta tidak ada dengan sendirinya tetapi diciptakan. Selama ini pemaknaan ayat tersebut baru sebatas itu. Kalau pun sedikit lebih jauh para ulama baru sebatas menggalinya secara metafisis untuk merasionalkan eksistensi tuhan beserta sifat-sifatnya.

Dengan rangkaian kata-kataNya itu Allah menuntut manusia untuk mengungkap tatacara Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam tatacara tentu saja yang harus diungkapkan adalah bahan baku, metode, tempat dan alat untuk menciptakan langit dan bumi. Mungkinkah Allah membutuhkan semua itu untuk menciptakan langit dan bumi? Pertanyaan semacam ini mungkin terlalu radikal bagi para ulama terutama bagi para penganut Wahabi. Pertanyaan tersebut akan dianggap membendakan Tuhan Allah SWT karena menyamakan Allah dengan manusia, bahwa Allah menciptakan bumi dan langit adalah sama dengan manusia menciptakan barang-barang seperti mobil, sepeda, pesawat atau rumah.

Sekat-sekat pemikiran yang dibuat oleh para penganut Wahabi, Salafi, bahkan Asy’ari sekalipun sangat tidak proporsional dalam memberdayakan akal yang merupakan anugerah terbesar dari Allah SWT. Padahal batasan-batasan yang mereka buat itu pun adalah adalah produk rasionalitas mereka terhadap teks-teks suci yang ada. Pemikiran-pemikiran merekalah yang membuat umat Islam terjerat dalam kejumudan pemikiran dan stagnasi keilmuan, karena sejak runtuhnya Dinasti Abbasiyah pemikiran-pemikiran teologis mereka lah yang dianut oleh mayoritas umat Islam yang dilegalkan oleh para penguasanya dan bahkan hingga saat ini.

Ayat-ayat seperti QS.3:190 ini akhirnya lebih tepat dimaknakan oleh orang-orang Eropa yang sangat menempatkan akal sebagai yang utama. Pertanyaan-pertanyaan semacam radikal yang muncul dari ayat itu dapat dengan bebas ditelusuri jawabannya, seperti: ketika kita mengetahui tatacara (bahan, proses dan ruang) penciptaan langit dan bumi itu, mungkinkah manusia hal yang serupa dengan proses itu? Tanda-tanda apakah yang dimaksudkan oleh Allah dengan penciptaan langit dan bumi, apakah  hanya sebatas tanda-tanda eksistensi diriNya yang lebih hanya dapat memenuhi kepuasan batin (iman) semata? Mengapa Allah selalu mengaitkan pertukaran siang dan malam dengan penciptaan benda-benda termasuk penciptaan langit dan bumi sendiri? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan mendasar dari ayat tersebut ketika kita memadukannya dengan pengalaman dan pengetahuan kita yang kita dapat dari interaksi dengan alam sekitar. Ketika kita mengkorelasikan dengan ayat-ayat yang lain dalam Al Quran akan ditemukan banyak petunjuk untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sekaligus akan ditemukan sumber-sumber pertanyaan lain. Al Quran adalah sumber pengetahuan yang tidak akan pernah habis untuk digali oleh orang-orang yang berakal dan mau melakukannya.

Berikut adalah ayat-ayat lain yang berhubungan dengan penciptaan langit dan bumi:

É#»n=ÏG÷z$#ur È@ø‹©9$# ͑$pk¨]9$#ur !$tBur tAt“Rr& ª!$# z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# `ÏB 5-ø—Íh‘ $uŠômr’sù ÏmÎ/ uÚö‘F{$# y‰÷èt/ $pkÌEöqtB É#ƒÎŽóÇn@ur Ëx»tƒÌh9$# ×M»tƒ#uä 5Qöqs)Ïj9 tbqè=É)÷ètƒ ÇÎÈ

Dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.(QS.45:5)

¨bÎ) ’Îû É#»n=ÏG÷z$# È@ø‹©9$# ͑$pk¨]9$#ur $tBur t,n=yz ª!$# ’Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcqà)­Gtƒ ÇÏÈ

Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwa. (QS.10:6)

  1. Cahaya

* ª!$# â‘qçR ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur 4 ã@sWtB ¾Ín͑qçR ;o4qs3ô±ÏJx. $pkŽÏù îy$t6óÁÏB ( ßy$t6óÁÏJø9$# ’Îû >py_%y`㗠( èpy_%y`–“9$# $pk¨Xr(x. Ò=x.öqx. A“Íh‘ߊ ߉s%qム`ÏB ;otyfx© 7pŸ2t»t6•B 7ptRqçG÷ƒy— žw 7p§‹Ï%÷ŽŸ° Ÿwur 7p¨ŠÎ/óxî ߊ%s3tƒ $pkçJ÷ƒy— âäûÓÅÓムöqs9ur óOs9 çmó¡|¡ôJs? ֑$tR 4 î‘qœR 4’n?tã 9‘qçR 3 “ωöku‰ ª!$# ¾Ín͑qãZÏ9 `tB âä!$t±o„ 4 ÛUΎôØo„ur ª!$# Ÿ@»sWøBF{$# Ĩ$¨Y=Ï9 3 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ ÇÌÎÈ

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya)  yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS.24:35)

  1. Dunia lain

z`»ysö6ߙ ü“Ï%©!$# 3“uŽó r& ¾Ínωö7yèÎ/ Wxø‹s9 šÆÏiB ωÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# ’n<Î) ωÉfó¡yJø9$# $|Áø%F{$# “Ï%©!$# $oYø.t»t/ ¼çms9öqym ¼çmtƒÎŽã\Ï9 ô`ÏB !$oYÏG»tƒ#uä 4 ¼çm¯RÎ) uqèd ßìŠÏJ¡¡9$# 玍ÅÁt7ø9$# ÇÊÈ

Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS.17:1)

šÆÏiB «!$# “ÏŒ Æl͑$yèyJø9$# ÇÌÈ   ßlã÷ès? èpx6Í´¯»n=yJø9$# ßyr”9$#ur Ïmø‹s9Î) †Îû 5Qöqtƒ tb%x. ¼çnâ‘#y‰ø)ÏB tûüÅ¡÷Hs~ y#ø9r& 7puZy™ ÇÍÈ

(yang datang) dari Allah, yang mempunyai tempat-tempat naik. malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun. (QS.70:3-4)

  1. D. Kesimpulan

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan tersebut Islam akan menjadi agama sekaligus peradaban yang gemilang. Hal ini telah dibuktikan sejak awal kelahiran Islam hingga zaman pertengahan. Saat itu umat Islam mencapai puncak kemajuan peradabannya saat di belahan bumi yang lain umat manusia masih dalam kungkungan kejumudan pemikiran dan kebobrokan moral serta keimanan. Pencapaian itu merupakan hasil dari pengkajian mendalam ayat-ayat al Quran secara orisinil dan bebas yang dipadukan dengan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat dan tabi’in.

Pertikaian politik dan kekuasaan menjadi akar kemunduran peradaban Islam. Konflik kepentingan politik dan kekuasaann ini diperparah lagi dengan melibatkan dalil-dalil agama sebagai justifikasi klaim-klaim kebenaran masing-masing pihak yang bertikai. Perpecahan ini kemudian melemahkan kekuatan dan posisi imperium Islam di depan imperium-imperium dan peradaban-peradaban lainnya hingga akhirnya.

Hingga saat ini umat Islam belum mampu mencapai posisi superior lagi atas peradaban-peradaban lain terutama Barat. Ini merupakan gambaran belum kembalinya al Quran pada posisinya sebagai landasan dalam membangun dan menegakkan peradaban Islam.

  1. E. Daftar Bacaan

Al Quran al Karim

Al-Maududi, Abul A’la, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996)

Baylis, John & Smith, Steve, The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations, (New Delhi: YMCA Library Building, 2005)

Black, Antony, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi hingga Masa Kini, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001)

Habib, Dr. Kamal Sa’id, Kaum Minoritas & Politik Negara Islam: Sejak Awal Pemerintahan Nabi SAW Sampai Akhir Pemerintahan Utsmani (1H-1325H atau 621M-1908M), (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2001)

Hitti, Philip K., History of the Arabs: Rujukan Induk dan Paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam,  (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008)

Husain, Faidullah, Fath al Rahman li thalibi ayat al Quran, (Beirut: al Mathba’ah al Ahliyah, 1323 H)

Purwanto, Agus, D.Sc, Ayat-Ayat Semesta: Sisi-Sisi Al Quran yang Terlupakan, (Bandung: Penerbit Mizan, 2008)