bilad’s Blog


Perjalanan Politik Islam di Pakistan: Misteri di Balik Terbunuhnya Benazir Butho
January 23, 2009, 3:31 am
Filed under: Essay | Tags:

Perjalanan Politik Islam di Pakistan: Misteri di Balik Terbunuhnya Benazir Butho

oleh. Cecep Zakarias El Bilad

 

Pakistan adalah  satu negara di Asia Selatan  yang lahir atas dasar semangat nasionalisme Islam. Ide pembentukan negara Islam ini sebenarnya pertama kali dicetuskan oleh Muhammad Iqbal pada tahun 1930, tetapi baru bisa terwujud  pada tahun 1947 atas perjuangan keras Muhammad Ali Jinnah.

Gagasan Negara Pakistan ini ditolak oleh  seorang ulama besar Pakistan, Abul A’la Maududi, yang menganggap bahwa gagasan nasionalisme itu adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran Islam sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar pembentukan sebuah negara Islam. Kemudian pada 26 Agustus 1941, Maududi mendirikan Jami’ah Islamiyah untuk mengorganisir para pengikutnya dan mengembangkan pemikirannya. Pertentangan kedua pihak ini terus berlangsung hingga lahirnya negara Pakistan. Ali Jinnah dan teman-temannya memegang pemerintahan, sedangkan Maududi besarta para pengikutnya baik dari Jami’ah Islamiyah atau kelompok-kelompok Islam lainnya menjadi partai oposisi pemerintah. Namun, peta  politik di Pakistan berubah sejak militer mengambil alih kekuasaan pada Oktober 1958. Tiga kekuatan politik besar bersaing, yaitu Jami’ah Islamiyah, mewakili kelompok Islam, Partai Rakyat Pakistan (PPP) pimpinan Zulfikar Ali Butho, mewakili kelompok sekuler, dan militer (pemerintah). Kemudian, dua kekuatan lain muncul,  yaitu Aliansi Demokrasi Islam (IDA) pimpinan Nawaz Sharif, tokoh Islam  yang berpandangan moderat dari Partai Liga Muslim Pakistan (PML)-N , dan Partai Liga Muslim-Q, partai yang mendukung pemerintah. Partai-partai  politik ini yang hingga kini mendominasi peta politik di Pakistan.

Kata kunci: pertentangan, oposisi, peta politik, kelompok Islam, militer

 

A. Sejarah Pakistan

Anak benua India awalnya adalah pusat peradaban Hindu di dunia.  Kemudian, pada abad ke delapan (tahun 711 masehi) orang-orang Islam mulai menjalin hubungan dagang dengan orang-orang Hindu di wilayah Sind. Hubungan dua masyarakat dari dua bangsa yang berbeda ini semakin meningkat hingga terjadi asimilasi melalui perkawinan dan pendirian pemukiman-pemukiman Muslim. Pada abad ke-10 orang-orang Ghaznawi dari Aia Tengah menaklukkan wilayah ini dan mendirikan pemerintahan Islam yang beribukota di Lahore pada tahun 1021.
Ekspansi Islam selanjutnya ke arah timur menyebabkan didirikannya kesultanan Delhi pada permulaan abad ke-13 dan berdominasinya orang Islam di India Utara.  Dalam abad-abad selanjutnya terjadi perluasan terus-menerus dari pemerintahan Islam di India dan berkembangnya kebudayaan yang mencapai puncaknya dengan Dinasti Mughal (1526-1857). Namun demikian, walaupun secara politis umat Islam memegang kepemimpinan, jumlahnya tetap minoritas di anak benua yang mayoritas penduduknya beragama Hindu tersebut.


A.1. Periode Penjajahan

Abad ke-16 dan 17 adalah masa-masa awal kelahiran paham liberalisme dan revolusi industri di Eropa. Sejak saat itu, bangsa-bangsa Eropa mulai mengadakan ekspansi ke luar Eropa demi kepentingan dagang, agama maupun politik. Baru pada abad ke-17 bangsa-bangsa Eropa yang terdiri dari Inggris, Perancis, Belanda dan Portugis mamasuki anak benua India, yang awalnya adalah untuk menjalin hubungan dagang dengan penduduk dan pemerintah setempat. Proses perdagangan ini semakin lama semakin intens dan perusahaan-perusahaan dagang Eropa semakin mendominasi perdangangan. Dominasi bangsa Eropa dalam hal ini adalah Inggris semakin meningkat dan merambah ke ranah politik yang puncaknya adalah runtuhnya pemerintahan Islam dinasti Mughal pada abad ke-19. Pemerintahan kolonial Inggris pun secara resmi berdiri sejak itu.

Di bawah rezim pemerintahan kolonial Inggris kondisi umat Islam di India semakin menyedihkan, karena dalam sejarahnya jaminan kesejahteraan dan kekuatan masyarakat Muslim adalah adanya kekuasaan Islam yang holistik terutama politik dan ekonomi seperti pada dinasti Islam Moghul di India yang kini telah runtuh. Dengan mereoganisir pendapatan dan administrasi peradilan, bangsa Eropa (Inggris) menggantikan posisi politik tertinggi yang sebelumnya diduduki oleh umat Muslim, meskipun pihak Muslim tetap dipekerjakan pada beberapa posisi yang lebih rendah.

Secara praktis memang ada diskriminasi secara sengaja oleh pemerintah Inggris dalam memperlakukan/melayani masyarakat di wilayah jajahannya itu. Untuk orang-orang Eropa pemerintah menggapnya sebagai penduduk kelas satu yang harus dihormati dan diperlakukan oleh rakyat pribumi selayaknya seorang majikan.  Sedangkan penduduk pribumi yang Hindu dipandang sebagi penduduk kelas dua, dan kelas terendah adalah untuk penduduk Muslim. Fakta ini menimbulkan kecemburuan sosial yang sangat tinggi penduduk pribumi Hindu dan Muslim terhadap pendatang Eropa, dan pribumi Muslim terhadap pribumi Hindu.
Pemerintahan kolonial Inggris secara “cerdas” menerapkan kebijakan-kebijakan yang parsial semacam itu untuk secara bertahap memarginalkan posisi umat Islam India. Hal ini dilakukan entah karena dendam atas kekalahan-kekalahannya oleh umat Islam dalam Perang Salib atau karena sengaja ingin menciptakan konflik komunal demi kepentingan-kepentingannya. Kondisi semacam ini berjalan dengan pasti karena memang masyarakat Hindu lebih terbuka  dan kooperatif dengan pemerintah Inggris dari pada umat Muslim yang bersikap sebaliknya, tertutup dan non-kooperatif. Sebagai contoh, pendudukan yang permanen di Bengal turut menyokong peralihan kekuasaan terhadap properti pertanahan dari pihak Muslim kepada pihak Hindu, meskipun di beberapa propinsi di barat-laut kalangan tuan tanah Muslim dapat mempertahankan posisi mereka di banding pihak Hindu.

Umat Muslim bukan hanya secara ekonomis ditindas, tetapi posisi pendidikan dan sosial mereka dengan jelas juga ditekan oleh pemerintah. Pada tahun 1870 para pemimpin Muslim mengajukan dua memori kepada Mahkamah Tinggi yang menyatakan bahwa jika hari libur yang diberikan kepada orang Kristen 62 hari, dan kepada orang Hindu 52 hari, maka menapa hanya 11 hari yang dibrikan kepada umat Muslim.

 

A.2. Gerakan Kemerdekaan

Tekanan-tekanan secara politik, ekonomi, militer dan budaya oleh penjajah Inggris dan penghinaan Hindu terhadap umat Muslim tersebut berakumulasi, dan pada abad ke-20  semangat juang umat Muslim untuk mengadakan perlawanan terhadap penjajah Inggris dan umat Hindu mulai bangkit. Kerusuhan berdarah terjadi di mana-mana dan memakan korban cukup besar dari kalangan Muslim maupun Hindu. Namun akhirnya pemberontakan tersebut dapat ditumpas oleh pemerintah Inggris. Pemberotakan gagal.

Kegagalan ini membuat trauma yang sangat mendalam bagi umat Muslim. Hingga akhirnya sebagian dari mereka merubah sikapnya terhadap pemerintah menjadi kooperatif. Umat Islam mulai menyesuaikan diri dengan pemerintahan dan kebudayaan Barat. Gema reformasi pun mulai digalakkan oleh elit-elit ulama Muslim terutama melalui sistem pendidikan. Contohnya adalah didirikannya Perguruan Tinggi Aligarh oleh Sayyid Ahmad Khan, salah seorang ulama reformis ketika itu yang pro Inggris. Perguruan Tinggi tersebut adalah lambang kerjasama antara Inggris dan Muslim pasca pemberontakan.

Secara politis, perjuangan umat Islam terwakili dalam wadah Liga Muslim (India Muslim League). Pada awal abad ke-20 (1913) Liga Muslim melahirkan Muhammad Ali Jinnah, seorang tokoh besar yang memperjuangkan nasib rakyat Muslim India dengan konsepnya untuk mempersatukan umat Islam dan Hindu dalam satu wadah pemerintahan bersama, lepas dari kolonialisme Inggris. Bersama Partai Kongres India (All India National Congress) Liga Muslim memperjuangkan persatuan Hindu-Muslim.

Perjuangan panjang Liga Muslim untuk persatuan Hindu-Muslim semakin hari semakin jauh dari harapan karena faktanya antara Islam dan Hindu adalah  dua pemahaman yang berbeda sama sekali dan bahkan saling beseberangan. Sehingga hal ini sangat sulit untuk mempersatukan para pemeluknya dalam sebuah wadah yang sama. Pertikaian antar kedua pemeluk agama ini terus terjadi. Kepentingan umat Islam semakin sulit untuk diperjuangkan melalui perundingan atau kerja sama dengan pihak Hindu. Akhirnya kenyataan ini membuat Liga Muslim di bawah pimpinan Muhammad Ali Jinnah mengurungkan cita-citanya dan memfokuskan perjuangannya pada nasionalisme Islam, membentuk sebuah pemerintahan sendiri bagi umat Muslim dalam sebuah negara yang terpisah dari negara India yang Hindu dan dari campur tangan kolonialisme Inggris, sebuah cita-cita yang sebenarnya lebih dulu digagas oleh Muhammad Iqbal pada tahun 1930 dalam sidang tahunan All India Muslim League.

Pergulatan politik antara Muslim dan Hindu pun akhirnya pecah pada 14 Agustus 1947 dengan lahirnya negara Pakistan yang Muslim dan India yang Hindu pada 15 Agustus 1947. Sejak itu jutaan orang meninggalkan tanah air mereka: orang-orang Hindu melarikan diri dari Pakistan, sementara orang-orang Muslim menginggalkan wilayah-wilayah  Hindu. Ratusan ribu orang terbunuh dalam pemberontakan tersebut. Negara baru ini terdiri dari wilayah Sind, Baluchistan, propinsi perbatgasan Barat Laut dan sebagian wilayah Punjab dan Bengal. 80 juta penduduk Muslim tinggal di Pakistan, dan 50 juta lainnya tetap bertahan di India.

B.    Islam dan National Building

Adalah Abul A’la Maududi (1903-1979) yang dari awal menentang konsep pemerintahan Islam model Muhammad Ali Jinnah. Menurutnya, gagasan nasionalisme itu sesuatu yang diimpor dari Barat, tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan oleh karenanya tidak dapat dipergunakan sebagai dasar dari apa yang dinamakan negara Islam. Untuk mengembangkan pemikirannya dan menegakkan visi-misinya, maka pada 26 Agustus 1941 Maududi mendirikan organisasi Jami’ah Islamiyah di Lahore. Organisasi ini merekrut orang-orang ”sholeh” dan sepaham dengan Maududi. Program awal perjuangannya adalah mendidik anggota-anggotanya tentang cara hidup Islami dan berkepribadian yang kokoh agar dapat  memimpin masyarakat kelak bebas dari kolonialisme Inggris.

Penolakan Maududi terhadap gagasan mendirikan negara nasional Islam itu selain karena dia menentang paham nasionalisme, juga dia tidka setuju kalalu negara nasional Islam  itu nanti dipimpin oleh tokoh-tokoh Liga Muslim seperti Mohammad Ali Jinnah dan rekan-rekannya, yang menurut Maududi adalah orang-orang sekularis ayng sudah terpengaruh Barat, dan yang tidak akan mampu memberikan pimpinan yang Islami. Kekhawatiran Maududi ini menjadi kenyataan karena setelah kemerdekaanya Ali Jinnah memformat Pakistan menjadi negara yang sekular. Bagi Ali Jinnah, Islam semata-mata merupakan warisan budaya dan identitas bersama bagi mayoritas Muslim. Pola pemerintahan Ali Jinnah tersebut setelah wafatnya tahun 1948 dilanjutkan oleh pengggantinya Liaquat Ali Khan.

B.1. Jatuh Bangun Konstitusi Islam

Pertarungan kedua kubu ini terus berlanjut. Mayoritas rakyat Pakistan sebenarnya mendambakan konsep negara seperti konsepnya Maududi, sehingga setelah kemerdekaan jumlah partai yang mendukung Jami’ah Islamiyah semakin bertambah, seperti Jamiyyat i-Ulama Islam dan Jamiyyat i-Ulama-i-Pakistan. Pertikaian ini mereda pada tahun 1956 dengan lahirnya konstitusi permanen Pakistan petama. Konstitusi ini merupakan kompromi antara pemerintah yang sekuler, para ulama dan partai-partai Islam. Bagi kalangan Islamis, konstitusi tersebut cukup mewakili aspirasinya karena di antaranya menegaskan bahwa nama negara adalah Republik Islam Pakistan; kedaulatan Tuhan dinyatakan dengan tegas; konstitusi mensyaratkan kepala negara adalah seorang Muslim; tidak boleh ada undang-undang yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. konstitusi ini jelas banyak mengakomodir pandangan Jami’ah Islamiyah, sehingga mereka mengklaim sebagai bentuk kemenangan Islam, Jami’ah Islamiyah dan sekutu-sekutunya.
Sejak terbentuknya undang-undang itu, kalangan Islam berusaha untuk lebih aktif dalam ranah politik. Namun konstitusi demokratis Islamis tersebut tidak berumur panjang. Sebelum kalangan Islam secara menyeluruh menjalankan upaya Islamisasinya, pada oktober 1958 terjadi kudeta militer yang dipimpin oleh Jenderal Muhammad Ayub Khan, seorang Muslim Modernis yang berpandangan sekular.

Muhammad Ayub Khan dengan tegas menolak sistem pemerintahan parlementer yang dianggapnya tidak cocok diterapkan di Pakistan. Gaya kepemimpinannya bisa dikatakan sebagai ”Demokrasi Terpimpin”. Dengan kekuasaan yang besar di tangannya dia dengan leluasa mengarahkan Pakistan kepada model pemerintahan yang didambakannya. Ayub Khan mengubah konstitusi 1956 yang demokratis Islamis dengan konstitusi 1962. Poin krusial mengenai konstitusi tersebut adalah mengubah nama negara dari Republik Islam Pakistan menjadi Republik Pakistan (membuang kata ”Islam”), dan menghapus klausa ”kedaulatan Tuhan” yang membatasi kekuasaan negara ”dalam batas-batas yang ditetapkan oleh-Nya”.
Selain itu, Ayub Khan juga melakukan kebijakan-kebijakan yang reformis lainnya seperti menyerang berbagai aktivisme religio-politik untuk membungkam mereka demi memuluskan program modernisasi ala Baratnya. Ayub Khan, sebagai contoh, beberapa kali memenjarakan Abul A’la Maududi, pemimpin Jami’ah Islamiyah, dan bahkan hampir menghukum mati karena dia sangat keras dalam menentang pemerintah. Karena kebijakan-kebijakannya yang kontroversial bagi masyarakat dan juga karena kepribadiannya yang tidak Islami, akhirnya Ayub Khan harus tunduk pada kekuatan rakyat yang semakin keras menentangnya. Kekuatan-kekuatan Islam yang dipimpin Jami’ah Islamiyah bersekutu dengan kubu sekuler yang dipimpin oleh Zulfikar Ali Butho dalam wadah Partai Rakyat Pakistan menggulingkan pemerintahan Ayub Khan pada tahun 1969.

Jabatan Presiden kemudian diserahkan kepada Jenderal Yahya Khan. Pada 7 Desember 1970 Yahya Khan menggelar pemilu. Pemilu tersebut dimenangkan oleh Partai Rakyat Pakistan dan menaikkan Zulfikar Ali Butho sebagai Perdana Menteri. Pada tahun 1971 terjadi pergolakan politik besar, Pakistan Timur atas bantuan India berhasil melepaskan diri dari Pakistan Barat dan mendeklarasikan diri menjadi negara Bangladesh. Dalam hal ini Zulfikar Ali Butho dan rakyat Pakistan menyalahkan Presiden Yahya Khan karena dinilai terlalu lemah dalam memimpin perlawanan dengan India yang membantu Pakistan Timur. Tekanan rakyat terhadap pemerintah pun semakin keras, yang akhirnya membuat Yahya Khan mengundurkan diri dan menyerahkan tongkat kepemimpinan Pakistan kepada Zulfiqar.

B.2. Islam dan Sosialisme

Pakistan berada di bawah kepemimpinan Ali Butho dari tahun 1970 hingga 1977. secara pribadi Ali Butho ingin menegakkan demokrasi dan mengorientasikan pembangunannya di atas dasar sekulerisme dan sosialisme. Slogan yang dia gunakan adalah roti, kapre, makan (makanan, pakaian, perumahan). Dia menjalankan program nasionalisasi dan land-reform sebagai wujud sosialisme pembangunannya. Namun, realitas politik memaksanya untuk berubah pandangan untuk lebih mempertimbangkan Islam sebagai kekuatan yang akan mengokohkan kekuasaannya dan melancarkan jalan bagi sosialismenya.

Setelah cukup lama ditekan oleh pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, pada era Ali Butho kelompok-kelompok Islam semakin gencar menyuarakan Islamisasi. Menanggapi tuntutan seperti itu, untuk melanggengkan pemerintahannya Ali Butho berusaha  mengislamkan sosialismenya dengan cara mengidentifikasi sosialismenya  dengan Islam serta menyamakan sosialismenya dengan pandangan egalitarianisme dan keadilan sosial Islam. Partai Rakyat Pakistan (Pakistan People’s Party atau PPP)-nya menggunakan slogan-slogan sosialis yang diislamkan, seperti persamaan Islam (musawwat) dan persamaan Muhammad. Kebijakan-kebijakan sosialis pemerintah, seperti land reform, langkah nasionalisasi terhadap bank-bank, perusahaan-perusahaan asuransi, dan berbagai industri, dijustifikasi atas nama Islam.
Pemanfaatan Islam tersebut dilakukan untuk memperluas dukungan dari masyarakat. Upaya ini kembali menemukan momentumnya ketika terjadi kembali huru-hara anti-Ahmadiyah. Pemerintah memanfaatkannya dengan memihak rakyat dan ulama (Sunni dan Syi’ah) dengan menegaskan bahwa Ahmadiyah adalah minoritas non-Muslim dan memecat pejabat-pejabat pemerintah dari kalangan Ahmadiyah. Sedangkan dalam hubungan luar negerinya, pemerintah Ali Butho membuka lebih luas kerja sama dengan negara-negara Arab dan Islam. Islam menjadi bagian yang sangat menonjol dari pendekatan pemerintahan Butho terhadap politik luar negeri.
Namun, segala tindakannya yang menggunakan nama Islam dianggap mengeksploitasi agama demi kepentingan-kepentingannya. Kalangan ulama menganggapnya sebagai seorang munafik dan oportunis, seruan-seruan Islamnya tidak diselaraskan dengan sikap dan kepribadiannya yang tidak Islami. Kritik yang paling keras terutama datang dari Jami’ah Islamiyah (JI)-nya Abul A’la Maududi yang didukung oleh JUI (Jamiyat-i-Ulama-i-Islam) dan JUP (Jamiyat-i-Ulama-i-Pakistan). Pada Maret 1970, 133 orang ulama telah mengeluarkan sebuah fatwa yang mengutuk sosialisme sebagai kekafiran dan barang siapa yang menganjurkan, mendukung atau memberikan suara kepadanya berada di luar agama Islam (murtad). Dalam segi lain, langkah dan kebijakan politik Ali Butho banyak yang kontroversial di mata masyarakat. Misalnya dengan melakukan perjanjian damai dengan India untuk membebaskan 93.000 tawanan perang Pakistan di India. Dalam perjanjian itu, Zulfiqar dianggap terlalu banyak memberi konsesi kepada India. Di sektor bisnis, Zulfiqar dianggap meresahkan, karena langkahnya yang menasionalisasi perusahaan industri berat. Dia juga dianggap berkhianat, karena mengakui keberadaan negara Bangladesh dan menabur bunga di makam pahlawan kemerdekaan Bangladesh.

Mobilisasi massa sering kali dilakukan oleh para ulama untuk berdemonstrasi menentang pemerintah. Mereka mengusung semboyan ”Islam dalam Bahaya” dan ”Nidzom-i-Islam”. Pada pemilu Maret 1977, partai-partai Islam (JI, JUI dan JUP) berkoalisi dan beraliansi dengan partai-partai oposisi sekuler membentuk Aliansi Nasional Pakistan (PNA) untuk mengalahkan PPP. Dan uniknya kepemimpinan aliansi tersebut secara sukarela diserahkan oleh kubu sekuler kepada kubu Islam. Namun fakta berkata lain, usaha-usaha keras para ulama dan partai-partai Islam tersebut kandas dengan kekalahan dalam pemilu  tersebut dari saingannya PPP.  Pakistan kembali dipimpin oleh para sosialis yang ”kafir”.

Pihak yang kalah menganggap telah terjadi manipulasi dalam pemilu oleh Pemerintah. Huru-hara terjadi di mana-mana. Pemerintah memberlakukan hukum darurat dan jam malam. Pemerintah pun berusaha meredam amarah rakyat Pakistan yang ”sholeh” dengan mengambil sikap oportunis, melarang minuman keras, perjudian, klub-klub malam, dan mengumumkan bahwa dalam waktu dekat akan diberlakukan hukum syariah. Namun langkah-langkah itu tidak mampu membendung perlawanan oposisi dan malah menegaskan pandangan munafik para ulama dan para pengikut setianya terhadap Zulfikar Ali Butho dan para pembantunya.
Kondisi kritis ini membuka peluang besar bagi pihak militer untuk turun tangan. Maka dengan restu para Ulama dan Amerika Serikat, Jenderal Muhammad Zia’ul Haq mengambil alih kekuasaan melalui kudeta tak berdarah pada 5 Juli 1977 – bagi para ulama, kudeta tersebut berhasil  menumbangkan penguasa yang munafik, sedangkan bagi AS kudeta ini merontokkan sosialisme.Zulfiqar Ali Butho kemudian dihukum gantung 4 April 1979 oleh Zia’ul Haq setelah melalui proses peradilan.

B.3. Lahirnya Nidzam-i-Islam

Berbeda dengan pemimpim-pemimpin Pakistan sebelumnya baik sipil maupun militer, Zia’ul Haq dari awal pemerintahannya menyatakan dengan tegas bahwa misi pemerintahannya adalah untuk membentuk sistem pemerintahan Republik Islam Pakistan di atas pilar-pilar Islam dan menegakkan syariat Islam dalam seluruh segi kehidupan rakyat Pakistan. Zia juga berjanji untuk menegakkan kembali demokrasi. Organisasi Islam dan legitimasi rezim Zia menegaskan kembali identitas Islam ari negara Pakistan dan mengemukakan cara (”Cara-Cara untuk Melaksanakan Nizam-i-Islam” dan ”Pengenalan Hukum Islam”) yang dirancang untuk menerapkan Islam sebagai ideologi politik negara dan untuk melaksanakan hukum Islam. Selanjutnya Zia segera mengadakan reformasi tidak hanya dalam hal peribadatan namun juga dalam hal politik, ekonomi, pendidikan dan peradilan. Pemerintah dalam bidang ekonomi memperkenalkan sistem pebankan Islam yang bebas bunga dan membangun badan-badan kerja sama bagi hasil dan koperasi yang sesuai Islam.

Islamisasi pemerintah ternyata semakin mempertajam ketegangan sektarian antara Muslim Sunni dan minoritas Syi’ah. Kaum Syi’ah tidak menerima dipaksakannya hukum-hukum mazhab fiqih Hanafi oleh pemerintah, sedangkan kaum Syi’ah menganut mazhab fiqih Ja’fari. Keberanian kaum Syi’ah ini terinspirasi dari revolusi Islam Syi’ah di Iran tahun 1979. Boleh jadi mereka mendapat sokongan dari pemerintah Syi’ah Iran, karena kaum Syi’ah yang selama ini berdiam diri dalam ketertindasan tiba-tiba berani menentang pemerintah dengan mengadakan demonstrasi besar-besaran dan mengadakan konferensi dan gerakan sejak awal 1980. Dan akhirnya tuntutan-tuntutan kaum Syi’ah diterima oleh presiden Zia’ul Haq.

Pada akhir tahun 1979 terjadi invasi Uni Soviet ke Afganistan, dan ini membawa ”berkah” tersendiri bagi rezim Zia’ul Haq. Pada masa itu adalah puncaknya Perang Dingin. Invasi Soviet ke Afghanistan tentu saja menggugah Amerika Serikat yang didukung oleh sekutu-sekutunya di Timur Tengah, Arab Saudi dan negara-negara Teluk, untuk ”membantu” perjuangan Mujahidin Afghanistan melawan serangan Soviet. Pakistan adalah satu-satunya pintu gerbang mobilisasi senjata, teknologi militer, tentara dari AS, serta menjadi basis pendidikan dan pelatihan para pemuda dan sukarelawan yang datang dari dalam maupun luar Pakistan. Madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren dalam jumlah banyak dibangun untuk memperbaiki pendidikan Islam generasi muda Pakistan sekaligus mengajarkan doktrin-doktrin jihad kepada mereka. Dari tahun 1982-1992 sekitar 35.000 militan dari negara-negara Islam datang ke Pakistan dan bergabung dengan para mujahidin Afghan sementara puluhan ribu militan asing lainnya belajar di berbagai madrasah yang didirikan atas dana bantuan dari Saudi dan negara-negara teluk. Zia juga menjalin kerjasama dengan badan intelegen Amerika CIA dalam mendirikan kamp-kamp militer untuk melatih dan mempersenjatai para pejuang Afghan melawan tentara komunis Soviet. Sejak itu Islam militan tumbuh pesat di Pakistan.

Zia’ul Haq berhasil memanfaatkan momen tersebut untuk memperlancar program Islamisasinya, memperbaiki sistem pendidikan Islam dengan banyak membangun madrasah-madrasah dan masjid-masjid, memperkuat militansi rakyak Muslim Pakistan, meyatukan kekuatan Islam seluruh Dunia untuk melawan komunisme, dan menjadikan Pakistan, terutama di perbatasan Pakistan-Afghanistan, sebagai basis pendidikan dan pelatihan para pejuang Islam seluruh dunia. Sejak saat itu legitimasi kepemimpinannya semakin kuat paling tidak di mata para ulama dan partai-partai Islam khususnya Jami’ah Islamiyah.

Satu hal yang oleh Muhammad Zia’ul Haq selalu dihindari adalah janjinya untuk mengembalikan demokrasi. Elemen-elemen yang menjadi syarat demokratisasi dibungkam, seperti sensor ketat terhadap pers, pembekuan partai-partai dan menggantinya dengan sistem syuro (musyawaroh), pemberlakuan darurat militer hampir selama kepemimpinannya, dan menunda-nunda pemilu yang pada awal pemerintahannya telah dijanjikan. Hal ini menimbulkan kritik dan perlawanan yang terus berakumulasi dari pihak-pihak oposisi terutama PPP pimpinan Benazir Butho, putri mendiang Zulfikar Ali Butho. Bahkan kritik dan oposisi pun datang dari partai-partai anggota PNA, Aliansi Nasional Pakistan, termasuk dari Jami’ah Islamiyah. Mereka menyatakan bahwa pemerintahan militer tidaklah Islami. Partai-partai Islam dan oposisi sekuler (PPP) semakin gencar menuntut diadakannya pemilu.

 

B.4. Kembalinya Demokrasi

Program-program Islamisasi Pakistan sejak 1977 berhenti seketika pada 7 Agustus 1988. Zia’ul Haq tewas dalam ”kecelakaan pesawat” yang ditumpanginya ketika perjalanan pulang ke Islamabad setelah kunjungan ke Bawahalpur. Banyak pihak meyakini bahwa itu bukanlah murni kecelakaan, namun merupakan pembunuhan berencana. Berbagai asumsi pun mengemuka. Namun bila dianalisis dari perjalanan politik dalam negeri, penulis lebih condong kepada teori balas dendam oposisi yang berkuasa sebelum Zia’ul Haq yaitu PPP yang kini dipimpin Benazir Butho: ayah Butho, mantan presiden dan Perdana Menteri Zulfikar Ali Butho, tewas di tiang gantungan Zia’ul Haq; pada masa rezim Zia berkuasa, partai Butho adalah yang paling keras ditekan oleh pemerintah; minoritas Syi’ah sangat dirugikan dengan program Islamisasi Zia’ul Haq dan sangat membencinya, sedangkan Benazir Butho, dalam satu keterangan, adalah seorang Syi’ah yang berhaluan sekuler. Sehingga sangat mungkin dia menjalin kerja sama dengan militan Syi’ah menyingkirkan Zia’ul Haq.

Konspirasinya tersebut dilakukan karena melihat bahwa ketika itu legitimasi pemerintahan Zia di mata rakyat dan ulama sedang merosot, sedangkan posisinya adalah sebagai pemimpin partai oposisi terbesar dan mempunyai pendukung yang sangat luas terutama di kalangan masyarakat biasa. Hal ini terbukti dalam pemilu yang diadakan tiga bulan kemudian pada November 1988 partainya, PPP, berhasil mengalahkan Aliansi Demokrasi Islam (IJI), koalisi sembilan partai termasuk tiga partai-partai Islam utama dan didukung oleh militer dan badan intelejen Pakistan ISI.
Pemerintahan Benazir Butho dihadapkan pada setumpuk masalah dari rezim sebelumnya, sedangkan gaya kepemimpinan Butho dinilai sangat lemah. Pandangannya tentang politik sama seperti ayahnya yakni sekulerisme yang dipadukan dengan sosialisme. Bahkan dia pernah menyatakan bahwa Islam tidak berhasil membawa Pakistan dari krisis. Dengan sikap dan pandangannya yang demikian, maka pemerintahannya selalu dirongrong oleh oposisi Islam. Pandangan mereka terhadap Benazir Butho sama seperti pandangan terhadap ayahnya Zulfikar Ali Butho.

Maka, pada tanggal 6 Agustus 1990, Presiden Ghulam Ishaq Khan, rekan dekat Zia’ul Haq dan sekutu Nawaz Sharif dari IDA, Aliansi Demokrasi Islam, membubarkan Majelis Nasional dan memecat pemerintahan perdana menteri Bhutto atas tuduhan korupsi dan tidak mampu menjalankan tugas. Pemilu pun dilangsungkan pada Oktober 1990 dan dimenangkan oleh Aliansi Demokrasi Islam pimpinan Nawaz Sharif dan menjadikan dirinya sebagai perdana menteri Pakistan.
Kondisi Pakistan yang carut-marut akibat penyalahgunaan jabatan dan perebutan kekuasaan para elit politik sebelumnya merupakan tugas yang sangat berat bagi Nawaz Sharif. Sehingga dia harus memfokuskan dirinya pada pembangunan ekonomi Pakistan. Untuk memperbaiki citra Pakistan di mata internasional khususnya Barat agar mempermudah mendapatkan bantuan ekonomi dan militer serta memperbaiki iklim investasi, segera setelah pengangkatannya dia meyakinkan dunia bahwa dirinya bukanlah seorang ekstrimis Islam. Di samping itu, dia juga tetap berusaha menampung aspirasi kalangan simpatisan Zia terutama Jami’ah Islamiyah yang merupakan sekutu utamanya.

Namun demikian, pemerintahannya tidak berumur panjang. Pada tahun 1993 Presiden Ghulam Ishaq Khan memberhentikan Nawaz Sharif atas tuduhan korupsi. Setelah itu langsung diadakan pemilu dan hasilnya Benazir Butho kembali menjabat sebagai Perdana Menteri. Namun pada tahun 1996 Presiden Faruq Leghari memecatnya. Pemilu 1997 kembali mengantarkan Nawaz Sharif ke kursi Perdana Menteri. Namun Sharif kembali tumbang pada 12 Oktober 1999 karena kudeta tak berdarah oleh Kepala Staff Angkatan Bersenjata Pakistan, Jenderal Pervez Musharaf.

C. Puncak Persaingan  dan akhir Petualangan Benazer Butho

Musharaf menjalankan pemerintahannya secara militeristik. Sebagaimana para Jenderal pendahulunya ketika hendak melakukan kudeta janji yang ucapkan adalah akan menegakkan atau mengembalikan demokrasi. Begitu halnya dengan Musharraf. Memang Musharraf menepati janjinya untuk segera mengadakan pemilu, dan sampai sekarang sejak kudeta militer tersebut telah beberapa kali diadakan pemilu dan hasilnya hingga kini Musharraf masih tetap menjadi pusat kepemimpinan di Pakistan. Musharraf mengamankan posisinya sebagai presiden dengan membungkam dan menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Dua mantan perdana menteri diasingkan ke luar negeri. Dengan begitu, selama kepemimpinannya sejak 1999 Musharraf tidak mempunyai saingan yang berarti di dalam negeri.

Masa kepemimpinan Musharraf sangat diwarnai dan diintervensi oleh pihak-pihak asing yang berkepentingan khususnya Amerika Serikat. Sekitar dua tahun setelah Pakistan dipimpin oleh Musharraf terjadi peristiwa 11 September 2001, serangan teroris yang meruntuhkan Menara Kembar WTC di New York. Peristiwa ini membawa perubahan besar bagi arah kebijakan dalam maupun luar negeri pemerintahan Pervez Musharraf. Karena tidak lama setelah peristiwa itu AS menuduh Osamah bin Laden, pemimpin organisasi Al Qaidah, sebagai pihak yang bertanggungjawab atas serangan terorisme tersebut. AS menuduh rezim Taliban bekerjasama dengan Osamah dan melindunginya. Dengan alasan itu maka AS memproklamirkan war on teror, dan dalam waktu dekat akan menyerang Afghanistan bila rezim Taliban tidak menyerahkan Osamah bin Laden.

Pada awal 2002 AS dan sekutu-sekutunya membuktikan tekadnya menyerang Afghanistan untuk menggulingkan pemerintahan Taliban dan menangkap Osamah bin Laden. Dalam hal ini pemerintah Pakistan menghadapi pilihan yang sangat sulit. Di satu sisi, pemerintah ditekan AS untuk mendukung AS menumbangkan rezim Taliban yang fundamentalis. Bila pemerintah menolak desakan AS dan mendukung perjuangan Taliban mempertahankan keaulatannya, maka resikonya adalah hubungan dengan AS akan rusak, padahal selama ini Pakistan sangat mengandalkan AS dalam bantuan ekonomi dan suplay persenjataan untuk mempertahankan kekuasaan dan menghadapi India. Bahkan Pakistan akan dijadikan target AS selanjutnya karena dianggap sebagai sarang teroris. Karena memang gerakan Taliban larih dari rahim Pakistan sejak zaman pemerintahan Zia’ul Haq untuk memukul mundur tentara Uni Soviet dari Afghanistan. Dan yang paling mengkhawatirkan pemerintah Musharraf bila menolak seruan AS tersebut,  AS akan melirik India, musuh bebuyutan Pakistan yang telah memiliki senjata nuklir, dan memanfaatkannya untuk menghancurkan Pakistan (setelah Taliban dihancurkan). Di sisi lain, bila pemerintah memenuhi permintaan AS untuk bersama-sama pasukan koalisi menyerang Taliban, maka pemerintah akan menghadapi kecaman dan perlawanan dari masyarakat, partai-partai Islam dan para Ulama. Juga secara Internasional akan mendapat kecaman dari bangsa-bangsa Muslim di dunia.

Ternyata pemerintah mengambil keputusan yang kedua, melepaskan dukungnnya kepada Taliban, dan ikut bergabung dalam barisan pasukan koalisi pimpinan AS menghancurkan Taliban dan al Qaidah. Setelah pemerintah mengumumkan keputusannya itu, terjadi demonstrasi dan kerusuhan yang dipimpin oleh para ustadz dan ulama di kota-kota besar mengecam pemerintah. Mereka bahkan menuntuk Musharraf untuk mundur dari jabatannya. Menghadapai reaksi keras masyarakat dan partai-partai Islam tersebut, pemerintah mengerahkan militer untuk meredam aksi-aksi unjuk rasa tersebut. Pemerintah juga menahan ratusan militan pro Taliban dan dua pentolan ulama pengumpul massa Jihad dan pro Taliban, Maulana Sami ul Haq dan Maulana Fazlur Rahman. Masing-masing adalah pemimpin Jamaat Haqqania dan pemimpin Jamiat ulama e-Islami. Dengan begitu berarti dengan tegas pemerintahan Presiden Pervez Musharraf menyatakan berdiri pada posisi bermusuhan dengan partai-partai Islam dan para ulamanya yang mendukung perjuangan Taliban. Musharraf kini menyebut setiap orang atau kelompok yang menentang kebijakannya itu sebagai ekstrimis, fundamentalis, atau bahkan teroris.
Setelah invasi AS dan Inggris ke Afganistan selesai dan rezim Taliban telah runtuh, AS terus menekan pemerintah Pakistan untuk membersihkan Pakistan dari hal-hal yang berbau Taliban. Akhirnya pemerintah terus mengawasi dan membatasi kegiatan-kegiatan keagamaan terutama yang terpusat di masjid-masjid atau madrasah-madrasah.

Kini, orang-orang Muslim yang taat menjadi musuh atau paling tidak harus diwaspadai dalam Republik Islam Pakistan. Contoh paling mutakhir dalam hal ini adalah penyerangan tentara Pakistan atas perintah Pervez Musharraf di Lal Masjid atau Red Mosque di Islamabad pada bulan Juli 2007. Tentara berhadapan dengan ratusan santri yang belajar ilmu-ilmu keislaman di madrasah yang berada di kompleks masjid tersebut. Operasi tersebut dilakukan karena pemerintah mengira masjid dan madrasah tersebut digunakan sebagai tempat pendidikan dan pelatihan para aktivis dan simpatisan Taliban. Sedangkan sejak menyatakan perang terhadap terorisme (Taliban dan al Qaidah), sejumlah aktivis penting Al-Qaidah berhasil ditangkap atau dibunuh intel Amerika bersama aparat Pakistan: Abu Zubaydah (2002), Ramzi bin al-Shibh (2002), Khalid Sheik Mohammad (2003), Muhammad Naeem Noor Khan (2004), dan Abu Faraj al-Libbi (2005). Beberapa di antara mereka masih ditahan di Penjara Guantanamo.
Tindakan pemerintah semacam ini sebenarnya malah semakin membangkitkan militansi rakyat Pakistan dan meningkatkan kebencian  kepada pemerintahan otoriter Musharraf. Partai-partai Islam yang beroposisi terhadap pemerintah akan semakin meningkatkan perlawanannya, dan mempererat hubungannya dengan sisa-sisa Taliban dan al Qaidah. Terbukti hingga kini pemerintah Pakistan yang didukung secara finansial maupun persenjataan militer oleh AS belum mampu mematikan serangan-serangan pejuangan militan Islam di perbatasan Pakistan-Afganistan. Bahkan kini semakin sering terjadi teror-teror bom bunuh diri di kota-kota di Pakistan, terutama diarahkan kepada pejabat pemerintah. Teror bom bunuh diri tersebut yang paling mengguncang seantero Pakistan dan seluruh dunia adalah teror bom bunuh diri dan penembakan yang terjadi pada hari rabu 27 Desember 2007 yang menewaskan mantan Perdana Menteri Pakistan dan pemimpin partai oposisi PPP, Benazir Butho. Peristiwa pembunuhan tersebut terjadi setelah Butho melakukan kampaye untuk partai pimpinannya PPP. Butho kembali ke Pakistan dari pengasingannya di Dubai dan London pada tanggal 18 Oktober 2007 atas undangan presiden Pervez Musharraf untuk berbagi kekauasaan dengannya. Namun tawaran Musharraf tersebut ditolak Butho karena Musharraf memberlakukan UU darurat militer sejak 3 November 2007 dan Musharraf tidak bersedia melepaskan jabatan Kasadnya, dan bersama Mantan PM dari partai Liga-N-Muslim Nawaz Sharif sepakat untuk beroposisi terhadap Musharraf. Akhirnya Musharraf memenuhi tuntutan mereka: Musharraf akhirnya menanggalkan jabatan Kasad, mencabut keadaan darurat medio pada Desember 2007, dan mengajukan jadwal Pemilu Parlemen menjadi 8 Januari 2008.

 

D. Mengurai Benang Kusut

Banyak asumsi mengemuka mengenai siapa pelaku pembunuhan Benazir Butho. Asumsi sederhana dan banyak diyakini oleh rakyat Pakistan khusunya para pendukung Butho adalah bahwa pemerintah berada di balik pembunuhan ini. Pemerintah mengaggap Benazir Butho adalah rintangan terbesar bagi Pervez Musharraf untuk kembali memimpin Pakistan sehingga harus dilenyapkan. Ada juga yang mengasumsikan pemerintah Musharraf berkonspirasi dengan Gedung Putih melakukan pembunuhan ini. Sementara pemerintah sendiri secara spontan menuduh al Qaeda berada di balik pembunuhan Benazir Butho ini.

Tanpa bermaksud berpihak kepada pemerintah Pakistan dan atau mendeskriditkan kelompok-kelompok Islam yang taat di Pakistan, penulis mempunyai asumsi sebagai berikut:

a.    Kecil sekali kemungkinan presiden Pervez Musharraf berada di balik pembunuhan tersebut, karena Musharraf sangat membutuhkan Benazir Butho untuk memperkuat dukungannya pada pemilu parlemen yang rencananya dilaksanakan (diajukan) pada 8 Januari 2008. Musharraf menyadari bahwa legitimasinya di masyarakat sangat kecil, dan dia melihat bahwa Butho mempunyai dukungan massa yang luas sehingga diperkirakan akan memengkan pemilu. Atas ide dari Gedung Putih Musharaf sengaja mengundang Butho kembali ke Pakistan untuk berbagi kekuasaan, dan undangan ini disambut baik oleh Butho. Kesungguhan niat Musharraf ini dibuktikan dengan memenuhi tuntutan Butho yang sempat menolak dan beroposisi menuntut Musharraf segera menghentikan darurat militer dan melepaskan jabatan Kasadnya pada medio Desember 2007 sebelum terbunuhnya Butho. Sedangkan dukungan AS pada koalisi ini ditujukan agar Musharraf tetap berkuasa sehingga kepentingan-kepentingan AS di Asia Selatan khususnya dalam menumpas al Qaeda dan sisa-sisa Taliban berjalan dengan lancar. Dengan hegemoninya tersebut di Pakistan AS akan dengan leluasa mengawasi kemajuan ekonomi dan militer India dan gerak-gerik Iran.

b.    Musharraf juga tidak akan bertindak ceroboh membunuh Butho karena dia juga akan mendapatkan kerugian yang sangat besar dan membahayakan posisinya, serta memupuskan harapannya untuk kembali memimpin Pakistan. Dalam kondisi popularitasnya yang telah anjlok, terbunuhnya Butho hanya akan membangkitkan kemarahan rakyat sehingga peluangnya untuk meraih suara terbanyak pada pemilu mendatang bisa dikatakan mustahil, walaupun saingan politik terbesarnya tersebut telah hilang. Suara besar PPP akhirnya akan jatuh kepada Nawaz Sharif yang menjadi satu-satunya oposisi terbesar berikutnya, atau mungkin malah akan jatuh kepada partai Islam seperti Jami’ah Islamiyah. Sedangkan kini dia hanyalah seorang presiden sipil.  Jabatan Kasadnya telah ditanggalkan. Atau bahkan dia akan menjadi korban kudeta militer oleh Kasad penggantinya yang mungkin membelot karena melihat kondisi kacau pasca pembunuhan Butho. Sehingga jabatannya sebagai presiden akan berakhir di tengah jalan.
c.    Musharraf adalah pemimpin militeristik Pakistan yang pro AS, sedangkan Butho walaupun dia adalah sosialis namun dia juga adalah seorang sekuler demokratis. Dua kali masa pemerintahan Butho sangat bergantung pada AS – Butho adalah tokoh didikan AS. Sehingga pada waktu itu sentimen anti AS samakin memanas. Alasan ini membantah satu asumsi yang menyatakan  adanya konspirasi Musharraf-Gedung Putih di balik tragedi Butho.
Oleh karena itu, penulis berasumsi bahwa pihak yang paling mungkin terlibat dalam pembunuhan Benazir Butho adalah kelompok-kelompok Islam (kelompok kanan) Pakistan berkonspirasi atau paling tidak yang satu ide (pro terhadap) dengan jaringan al Qaeda dan Taliban, dengan argumentasi sebagai berikut:


a.    Benazir Butho memiliki landasan perjuangan yang sama seperti ayahnya Zulfikar Ali Butho, yaitu sosialisme yang diramu dengan nilai-nilai Islam yang kemudian dikenal dengan Bhuttoisme. Dalam kampanye-kampanye politiknya Butho dengan cerdik mengeksploitasi nama besar ayahnya dan menggembor-gemborkan ide-ide sosialisme Ali Butho. Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa ide-ide tersebut mendapat kritikan dan tantangan keras dari kelompok-kelompok Islam. Mereka menghukumi ide-ide sosialisme Ali Butho sebagai bentuk kekafiran dan membayakan bagi kemurnian ajaran Islam. Itulah kenapa ketika menentang Ali Butho mereka mengusung slogan ”Islam dalam Bahaya!”. Itulah kenapa pada era Zia’ul Haq Ali Butho dihukum gantung setelah melalui persidangan yang cukup kontroversial – dalam Islam ketika ada seorang Muslim dihukumi murtad (kafir) dan sepak terjang atau pemikirannya dapat merusak ajaran dan tatanan Islam, maka orang tersebut wajib diperangi/dibunuh. Maka Benazir Butho yang sepak terjang dan pandangannya meniru ayahnya dihukumi sama seperti ayahnya juga, kafir.

Butho semakin membikin ”muak” kelompok kanan dengan pernyataan-pernyataannya dalam setiap kesempatan berkampanye yang provokatif dan melukai perasaan umat Islam, contohnya, kurang lebih, bila dia terpilih sebagai Perdana Menteri dia akan menumpas gerakan-gerakan ekstrimis Islam dan membiarkan pasukan-pasukan AS beroprasi di Pakistan bersama tentara Pakistan untuk melakukan tugas tersebut. Dia juga pernah menyatakan bahwa Islam berhasil memabawa rakyat Pakistan keluar dari krisis dan kemiskinan. Di samping itu Butho juga seorang perempuan yang menurut fatwa mayoritas ulama Pakistan tidak boleh menduduki posisi sentral dalam pemerintahan.

Hal lain yang patut dipertimbangkan adalah bahwa Butho juga diidentifikasi sebagai seorang penganut Syi’ah. Sedangkan Syi’ah adalah minoritas dan tidak mempunyai kekuatan yang terorganisir di Pakistan. Sedangkan Sunni adalah mayoritas dan partai-partai Politik Islam di Pakistan berhaluan Sunni. Oleh karena itu, semua alasan-alasan merupakan argumentasi yang mencukupi untuk mendukung statement bahwa kelompok-kelompok Islam Kanan terlibat dalam kasus pembunuhan Butho tersebut. Terlebih lagi pasca invasi AS dan Inggris ke Afghanistan serta dukungan pemerintah Pakistan terhadap invasi tersebut memperkuat militansi dan kohesi orang-orang dan kelompok-kelompok Islam di wilayah tersebut.

b.    Kemudian pertanyaan yang timbul adalah kenapa harus Butho bukan Musharraf? padahal Musharraf adalah seorang pemimpin yang sekuler dan militeristik yang tidak sesuai dengan pandangan politik Islam. Musharraf juga telah berhianat terhadap umat Islam dan rakyat Pakistan dengan kebijakannya berpihak pada AS dan Inggris ketika negara-negara itu menginvasi Afghanistan, dan hingga kini Musharraf menjadi tangan kanan Gedung Putih dalam memerangi Taliban dan al Qaeda. Musharraf juga adalah seorang penganut Ahmadiyah yang merupakan minoritas non-Muslim di Pakistan.

Sebenarnya usaha pembunuhan terhadap Musharraf telah tiga kali dilakukan namun semuanya gagal, yang terakhir adalah pada tahun 2003. Komplotan pembunuh segera terbongkar, mereka dari kelompok Islam. Pemimpinnya, Amjad Farooqi, ditembak mati oleh tentara. Tiga kali kegagal tersebut menunjukkan Musharraf terbukti sangat licin karena dia memang memiliki otoritas penuh untuk mengamankan dirinya semaksimal mungkin. Sehingga usaha yang lebih mudah dilakukan adalah dengan membunuh Benazir Butho. Namun di samping karena faktor kemudahan secara teknis,  dengan menyingkirkan Butho Kelompok Islam mendapatkan dua keuntungan dalam satu kali pekerjaan: Benazir Butho dan Pervez Musharraf keduanya adalah sama-sama musuh besar.Musharraf adalah seorang presiden yang ambruk popularitasnya di mata rakyat, sedangkan Benazir Butho adalah seorang oposisi sekuler yang telah sekian lama menderita karena dibungkam aspirasi politiknya dan diasingkan oleh Musharraf, dan kini kembali mendapatkan popularitasnya di masyarakat. Ketika Butho terbunuh, maka spontanitas rakyat terutama para pendukungnya akan menuduh bahkan meyakini bahwa Musharraf berada di belakang aksi pembunuhan tersebut, terlebih lagi ketika itu Butho sedang gencar-gencarnya mengkritik Musharraf. Maka, Musharraf akan semakin ambruk popularitasnya dan dipastikan akan kalah dalam pemilu parlemen awal januari 2008. Sedangkan kini Musharraf kini hanyalah seorang presiden sipil, yang lemah tanpa kekuasaan memimpin militer. Dan bisa dipastikan juga suara rakyat Pakistan akan tumpah kepada Nawaz Sharif  karena setelah berakhirnya perjalanan politik Butho selamanya, PPP tidak mempunyai lagi tokoh andalan yang menjadi panutan.
Maka selanjutnya paling tidak ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, kelompok-kelompok Islam akan berkoalisi dengan eks Thaliban dan al Qaeda, Inter-Service Intellegence (ISI)/ agen intelejen Pakistan dan Militer untuk menggulingkan presiden Pervez Musharraf melalui kudeta militer sebelum kekuasaannya berakhir. Kedua, kerjasama tersebut bukan untuk menggulingkan Musharraf namun untuk menghabisi nyawanya. Sehingga pernyataan-pernyataan pemerintah sesaat setelah terbunuhnya Butho bahwa target selanjutnya dari pembunuhan itu adalah Nawaz Sharif, Maulana Fazlur Rahman, mantan Menteri Sheikh Rashid,dan Afteb Sherpao hanyalah gertakan semata menunjukkan kegugupannya. Karena dia merasa nyawanya kini semakin terancam.


Kecil kemungkinan Nawaz Sharif menjadi target pembunuhan selanjutnya, dia justru akan menjadi pemimpin yang akan menggantikan Musharraf, karena pandangan-pandangan Sharif yang moderat. Tidak sekuler dan tidak juga mengesampingkan aspirasi-aspirasi kelompok Islam. Dan malah justru Sharif lebih condong ke kanan. Kecuali apabila Sharif ternyata kekiri-kirian, maka bisa jadi dia juga akan menjadi target berikutnya. Walloohu a’lam bi as Showaab.
Kesimpulan
Berdirinya negara Pakistan pada tahun 1947 adalah hasil dari gagasan seorang ulama filosof Muhammad Iqbal pada tahun 1930, dan kemudian dipejuangankan oleh Muhammad Ali Jinnah dan kawan-kawannya melalui wadah Liga Muslim Pakistan. Pendirian negara ini dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi umat Islam India yang banyak dirugikan dan tertindas oleh pemerintah kolonial Inggris dan umat Hindu yang merupakan mayoritas di anak benua India tersebut. Gagasan tersebut memperjuangkan hak politik, ekonomi, pendidikan dan ibadah umat Islam.
Namun ternyata gagasan tersebut mendapat penentangan keras dari kalangan umat Islam sendiri terutama oleh Abul A’la Madudi, pendiri orgnisasi Jami’ah Islamiyah. Maududi memandang bahwa gagasan pendirian negara Pakistan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Islam karena konsep nasionalisme dan sekulerisme yang menjadi dasar pemikiran dari negara Pakistan berasal dari Barat, serta bertentangan dengan ajaran Islam tidak mengenal batas-batas wilayah dalam pemerintahannya, yang ada hanyalah wilayah Islam dan wilayah Kafir.
Pertentangan antara kubu Islam dan kubu Sekuler  ini terus berlanjut hingga negara Pakistan berdiri tahun 1947. gerakan-gerakan Islam yang menentang Ali Jinnah tersebut terpaksa mengikuti realita dan ikut hijrah dari India ke Pakistan. Ternyata memang benar dugaan Maududi: dari awal kemerdekaannya pemerintahan Pakistan berjalan di atas konsep sekulerisme. Hal ini membuat kelompok Kanan Islam semakin keras dalam pertarungannya melawan kelompok Kiri Islam yang sekuler tersebut. Dua kekuatan itu pun bergantian dalam memerintah Pakistan, hingga kini.

 

Benazi Butho adalah salah satu tokoh yang ikut  bertarung dalam perpolitikan Pakistan. Dia adalah seorang wanita berpendidikan AS, pandangannya demokratis sekuler tentang politik Islam, dan orientasinya sosialis. Tentunya yang menjadi lawan tandingnya adalah kelompok Kanan Islam.

Karier politiknya cukup panjang dan berliku. Dua kali dia menjabat sebagai Perdana  Menteri, dan dua kali itu pula ia digulingkan di tengah jalan. Hingga akhirnya karier politiknya berakhir secara tragis. Seseorang menembakanya hingga tewas ketika dia baru saja berkampanye di depan para pendukungnya.

Berbagai spekulasi pun bermunculan mengenai siapa di balik akhir kriminal tersebut. Namun bila ditelusuri dari perjalanan arus utama perpolitikan Pakistan dari sebelum dan sesudah kelahirannya, maka akan didapatkan argumentasi-argumentasi yang  kuat siapa di balik kasus pembunuhan Benazir Butho, yaitu kelompok Islam. Mereka memandang bahwa kubu sekuler termasuk Benazir Butho telah menyelewengkan nilai-nilai Islam dan mengikisnya dari kehidupan rakyat Pakistan. Mereka sangat berbahaya. Mereka harus disingkirkan.


Leave a Comment so far
Leave a comment



Leave a comment